Ketika Wakil Rakyat Lupa Menjaga Lidah, Publik Turun Melawan - Media Dinamika Global

Senin, 01 September 2025

Ketika Wakil Rakyat Lupa Menjaga Lidah, Publik Turun Melawan


Bima, NTB. Media Dinamika Global.Id.-Dinamika negeri hari ini dalam kondisi prihatin, tidak kondusif, situasi tidak dalam keadaan seperti biasanya. Gelombang perlawan rakyat kepada DPR RI secara khususnya dan secara umum kepada pemerintah. Dalam sistem demokrasi, wakil rakyat seharusnya menjadi corong aspirasi, penyambung lidah rakyat, serta penyalur kepentingan publik yang berlandaskan etika dan moral. Namun, realitas di Indonesia justru sering menghadirkan ironi: anggota DPR yang seharusnya berhati-hati dalam berbicara, malah mengeluarkan pernyataan yang melukai, merendahkan, bahkan memicu kemarahan rakyat. Fenomena ini bukan sekadar masalah gaya komunikasi, tetapi cerminan dari krisis moral dan rendahnya sensitivitas wakil rakyat terhadap denyut nadi masyarakat yang mereka wakili.

Ucapan yang sembrono dari seorang pejabat publik tidak pernah berdiri sendiri. Ia lahir dari kultur politik yang penuh arogansi, merasa kebal kritik, dan cenderung memandang rakyat hanya sebagai angka dalam kotak suara. Padahal, kata-kata pejabat memiliki bobot yang lebih berat daripada sekadar obrolan biasa. Setiap pernyataan bisa memperkuat legitimasi atau justru meruntuhkan kepercayaan publik.

Ketika rakyat sedang bergulat dengan masalah ekonomi, kesusahan lapangan pekerjaan, harga kebutuhan pokok melambung, dan layanan publik seringkali mandek, mendengar ucapan yang sinis, kasar, atau tidak berempati dari anggota DPR bagaikan garam yang ditabur di luka terbuka bagi seluruh rakyat Indonesia. Alih-alih menenangkan, justru menyalakan api kemarahan. Tak heran bila kemudian gelombang demonstrasi muncul sebagai bentuk koreksi sosial. Jalanan pun kembali menjadi ruang di mana rakyat bersuara lantang, karena saluran formal di parlemen gagal berfungsi.

Fenomena rakyat melawan akibat lidah anggota DPR yang tidak terjaga ini juga menyingkap persoalan lebih mendasar: absennya budaya keteladanan di tubuh lembaga legislatif. Seolah-olah sebagian politisi lupa bahwa mandat yang mereka emban adalah amanah, bukan privilese untuk berbicara semaunya. Mereka lupa bahwa rakyat yang memberi kursi, juga punya kuasa untuk menggugat dan melawan.

Di sinilah letak pentingnya kesadaran bahwa demokrasi bukan hanya tentang prosedur pemilu, melainkan tentang kepercayaan yang dijaga setiap hari. Jika wakil rakyat gagal menjaga etika berbicara, maka jurang antara rakyat dan parlemen akan semakin menganga. Dan ketika jurang itu semakin lebar, konsekuensinya adalah hilangnya legitimasi lembaga, runtuhnya kewibawaan negara, dan lahirnya perlawanan dari bawah.

Maka, koreksi harus segera dilakukan. Parlemen bukan sekadar panggung retorika, tetapi rumah kebijaksanaan. Anggota DPR perlu belajar kembali seni mendengar, merawat sensitivitas, dan menjaga lidah. Sebab lidah yang tak terkendali bukan hanya melukai harga diri rakyat, tetapi juga menghancurkan fondasi kepercayaan yang menjadi penopang demokrasi.

Rakyat telah menunjukkan bahwa mereka tidak akan tinggal diam ketika diremehkan. Suara publik yang turun ke jalan adalah pengingat keras bahwa kekuasaan sejati tidak berada di kursi empuk parlemen, melainkan di tangan rakyat yang sewaktu-waktu bisa menarik mandatnya. Wakil rakyat harus sadar: menjaga lidah berarti menjaga martabat demokrasi. Bila tidak, maka rakyatlah yang akan kembali menjadi hakim di jalanan. 

Harapan penulis kepada para pejabat pemerintah/wakil rakyat agar menjadi etika, lisan,tutur kata yang dapat melukai hati rakyat ditengah kondisi bangsa dan Negara yang saat ini dalam tidak dalam keadaan baik-baik saja, segoiayanya pejabat itu merupakan karyawan masyarakat yang diberi amanah untuk bekerja demi kesehjateraan, kemakmuran seluruh masyarakat Indonesia. Oleh (Muhammad Fakhrur Rodzi, S.IP., M.IP) Lingkar Pinggir Bima.




 


 



Comments


EmoticonEmoticon