Opini MDG. Media Dinamika Global. Id. -Mahasiswa Pascasarjana HKI UIN Mataram Prof. Diah Ariani Arimbi biasa disapa Prof. Diah, beliau adalah guru besar bidang studi Kajian Sastra dan Budaya di Salah satu kampus Universitas Airlangga dengan status ikatan kerja Dosen Tetap, beliau dikenal perempuan , beliau menempuh pendidikan S1 di Universitas Airlangga pada tahun 1993, S2 di University Of Northem Lowa pada tahun 1999 dan pendidikan terakhir S3 di University Of New South Wales pada tahun 2006, beliau dikukuhkan menjadi Guru Besar FIB Unair bidang Ilmu Kajian Budaya dan Gender, Prof. Diah dalam Orasinya menyerukan perlawanan terhadap stereotip dan konstruksi gender yang merugikan, khususnya pada perempuan.
Prof. Diah memiliki dua bidang keahlian, yaitu Cultural Studies, dan Women dan Gender Studies. Prof. Diah memandang perempuan dan kajian gender sangat penting, karena pada dasarnya masyarakat Indonesia masih sangat patriarki, dan perempuan masih dianggap sebagai jenis kelamin kedua dalam banyak gender masih ada diindonesia.
Prof. Diah melakukan sejumlah penelitian tentang gender. Tiga dari 24 penelitiannya telah diterbitkan: “ Perempuan dan Politik Kesalehan: Hak Perempuan, Peran dan Kesetaraan dalam Gerakan Tarbiyah Indoensia, (2015), “ Memikirkan kembali Keindonesiaan dalam Majalah Remaja Indonesia di Milenium Baru, (2015), “Menemukan Bacaan Sastra Feminis: Penggambaran dalam Karya Sastra Indonesia 1920-an”
Masih bernuansa semangat Hari Kartini, tepat pada tanggal 21 April bagaimana untuk mereflesikan kembali tentang kesetaraan gender yang diperjuangkan oleh R.A Kartini semasa penjajahan Belanda, dapat dilanjutkan oleh generasi muda bangsa Indonesia dewasa ini. Kesetaraan gender sudah terbilang baik. Hal ini tak terbantahkan jika dirujuk pada satu struktur kepemimpinan dijajaran fakultas yang banyak diisi oleh perempuan.
Sebenarnya dalam Perang Dunia ke -2, di Amerika Serikat, karena laki – laki semua berangkat perang, jadi yang but bom, tank, senjata itu ya perempuan, siapa yang buat kalau bukan perempuan, karena laki – laki semua peran. Nah ketika perang selesai, laki – laki tidak ada kerjaan lalu perempuan kembali didapurkan. Dari situ, seharusnyaa muncul kesdaran bahwa, perempuan itu bisa sja mengerjakan sesgala sesuatu diluar domestiknya. Polarisasi keilmuan dan pekerjaan itu jangan diteruskan.
Bermula dari penglihatan pada kondisi perempuan dijawa yang hanya dijadikan Konco Wingking, kasur, sumur, dan dapur, tersandera oleh konsep mitos – mitos yang diciptkan oleh masyarakat jawa yang membuat perempuan tidak banyak mendapatkan akses dibandingkan dengan laki – laki, misalnya aspek pendidikan.
Padahal wisudawan Prestasi saat wisuda diAirlangga Convention Centre (ACC) itu kebanyakan perempuan, tapi kenapa ketika masyarakat leader masih banyak laki – laki, seperti Rektorat, dalam kajian gender itu ada yang namanya glasiling ( Faktor tak tampak), ekspetasi kalau perempuan sudah kuliah harus kembali ke domestiknya menjadi permasalahan.
Dalam momentum ini kesetaraan gender perlu dipahami bahwa tidak hanya perempuan saja, tapi laki – laki juga, kedua sama- sama memperjuangkan. Pada prinsipnya keduanya memiliki akses yang sama dalam berbagai aspek kehidupan. Di Filandia, kalau istri yang melahirkan nggak Cuma istri yag cuti tapi suami juga, karena tanggung jawab rawat anak itu tanggung jawab laki – laki dan perempuan dalam segala bentuk aspek kehidupan agar kesetaraan gender, baik lagi – laki maupun perempuan, dapat berjalan melintas ruang, waktu, wilayah maupun budaya..
Meneladani perjuangan Kartini dalam memperjuangkan memberikan akses pendidikan bagi perempuan, karena jaman itu perempuan tidak boleh sekolah. Padahal kita sebagai muslim mempunyai istilah, perempuan tiang negara, jika perempuan itu baik maka negara itu akan baik pula.
Perempuan, gender, dan Islam akan selalu mejadi pemandangan yang diperebutkan karena fokus perempuan dalam kaitannya dengan islam bermasalah ketika statusnya berada. Dimanifestasikan mata islam yang dipraktekkan. Berbagai interprestasi Islam telah berhasil mendefinisikan, menemukan, dan mungkin menjebak perempuan dalam kategori tetap tertentu. Amina Wadud dan usahanya untuk memecahkan hegemoni Fiqh patriarki adalah contoh problematika perempuan kedudukan dalam Islam. Oleh: Nia Daniati Mahasiswa Pascasarjana HKI UIN Mataram. (Ms MDG).
0 comments