Proses penyusunan RKUHAP telah berlangsung lebih dari satu tahun lamanya dengan telah menjaring meaning participation atau partisipasi bermakna dari para pemangku kepentingan.
Jakarta, Media Dinamika Global.id.--DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada sidang paripurna yang digelar di Gedung DPR RI, Jakarta Selasa (18/11).
Rapat diikuti 342 anggota DPR dengan dipimpin langsung oleh Ketua DPR, Puan Maharani didampingi Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Cucun Ahmad Syamsurijal.
Turut hadir perwakilan pemerintah di antaranya perwakilan dari Kementerian Hukum, Kementerian Sekretariat Negara, dan K/L lainnya.
Dalam paparannya, Ketua Komisi III DPR, Habiburokhman menegaskan proses penyusunan RKUHAP telah berlangsung lebih dari satu tahun lamanya dengan telah menjaring meaning participation atau partisipasi bermakna dari para pemangku kepentingan.
“KUHAP ini dalam penyusunan ini kami semaksimal mungkin berikhtiar untuk sedemikian mungkin memenuhi meaning participation atau partisipasi yang bermakna. Sejak februari 2025 Komisi III DPR RI telah mengunggah naskah tentang KUHAP di laman dpr.go.id dan melakukan pembahasan DIM secara terbuka. Kemudian telah dilakukan RDPU setidaknya 130 pihak dari berbagai elemen masyarakat, akademisi, advokat, serta elemen penegak hukum.” tegas Habiburokhman.
Selain itu, dirinya menjelaskan KUHAP memerlukan pembaruan untuk memperkuat posisi warga negara dalam hukum. KUHAP baru disebutkan telah mengakomodir kebutuhan kelompok rentan, memperjelas syarat penahanan, perlindungan dari penyiksaan, penguatan dan perlindungan hak korban, kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, hingga keadilan restoratif.
“Ada sedikit perbandingan antara KUHAP lama dan KUHAP baru. KUHAP lama pada intinya adalah undang-undang yg mengatur interaksi antara negara yang diwakili aparat penegak hukum dengan warga negara yang merupakan orang yang bermasalah dengan hukum. Di KUHAP yang lama negara itu terlalu powerful aparat penegak hukum terlalu powerful, kalau di KUHAP yang baru warga negara diperkuat, diberdayakan haknya, diperkuat melalui juga penguatan profesi advokat sebagai orang yang mendampingi warga negara.” sambungnya.
Disebutkan, KUHAP baru ini juga dibutuhkan seiring dengan akan dibelakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang akan mulai berlaku 2 Januari 2026.
“Komisi III bersama rekan-rekan pemerintah mengucapkan syukur alhamdulillah atas telah selesainya pembahasan RUU tentang KUHAP yang sangat dibutuhkan seluruh penegak hukum di negeri ini yang akan mendampingi penggunaan KUHP sebagai hukum materil harus dilengkapi dengan hukum operasionalnya, yaitu KUHAP yang akan bersama-sama mulai berlaku 2 januari 2026.” ujarnya.
Selepasnya, Puan Maharani menanyakan kepada anggota dewan yang hadir apakah RUU tersebut dapat disepakati sebagai undang-undang.
“Tibalah saat kami minta persetujuan fraksi-fraksi terhadap rancangan undang-undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana apakah dapat disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang?” ucap Puan Maharani.
“Setuju,” jawab para anggota dewan yang hadir diikuti dengan ketukan palu tanda pengesahan.Menteri Hukum RI, Supratman Andi Atgas mewakili presiden menyampaikan pengesahan RKUHAP ini penting guna memperkuat hukum nasional. Dirinya menekankan penyusunannya telah dilakukan secara terbuka dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
“Prosesnya melibatkan berbagai pemangku kepentingan, akademisi, praktisi hukum, aparat penegak hukum, organisasi profesi, lembaga bantuan hukum, masyarakat sipil, dan kelompok rentan. Masukan dari publik diserap melalui rapat kerja, uji publik, dan konsultasi nasional agar rumusan yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta perkembangan hukum dan teknologi masa kini.” ungkap Supratman.
Sebelumnya RKUHAP telah disepakati pada tingkat pertama antara Komisi III DPR dan Pemerintah Kamis (13/11). Keduanya telah menyepakati substansi perubahan aturan acara pidana yang telah berusia empat decade lamanya.
Terdapat 14 substansi perubahan utama pada RKUHAP, yakni:
Penyesuaian hukum acara pidana dengan perkembangan hukum nasional dan internasional;
Penyesuaian nilai hukum acara pidana sesuai KUHP baru yang menekankan pendekatan restoratif, rehabilitatif, dan restitutif;
Penegasan prinsip diferensiasi fungsional antara penyidik, penuntut umum, hakim, advokat, dan pemimpin masyarakat;
Perbaikan kewenangan penyelidik, penyidik, dan penuntut umum serta penguatan koordinasi antarlembaga;
Penguatan hak tersangka, terdakwa, korban, dan saksi, termasuk perlindungan dari ancaman dan kekerasan;
Penguatan peran advokat sebagai bagian integral sistem peradilan pidana;
Pengaturan mekanisme keadilan restoratif;
Perlindungan khusus kelompok rentan seperti disabilitas, perempuan, anak, dan lansia;
Penguatan perlindungan penyandang disabilitas dalam seluruh tahap pemeriksaan;
Perbaikan pengaturan upaya paksa dengan memperkuat asas due process of law;
Pengenalan mekanisme hukum baru seperti pengakuan bersalah dan penundaan penuntutan korporasi;
Pengaturan pertanggungjawaban pidana korporasi;
Pengaturan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi bagi korban atau pihak yang dirugikan;
Modernisasi hukum acara pidana untuk mewujudkan peradilan cepat, sederhana, transparan, dan akuntabel.
Dalam prosesnya, Mahkamah Agung turut terlibat dalam proses penyusunan RKUHAP. Baik itu dalam rapat panitia kerja, kunjungan spesifik yang digelar di sejumlah daerah di Indonesia dengan turut melibatkan pengadilan, kejaksaan, kepolisian, hingga akademisi.
Sebelumnya, Ketua Mahkamah Agung, Prof. Dr. Sunarto, S.H., M.H. juga turut mengikuti penandatanganan Naskah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang diselenggarakan Kementerian Hukum Republik Indonesia pada bulan Juni lalu.
Ketua MA meyakini, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) yang diusulkan dan dibahas bersama telah mengakomodasi masukan agar RUU KUHAP tidak bersifat kaku.
Dengan demikian, kewenangan teknis dapat diberikan kepada masing-masing instansi: penyidikan kepada penyidik, penuntutan kepada penuntut, dan regulasi teknis peradilan diserahkan kepada Mahkamah Agung. Hal ini penting agar implementasi ketentuan dalam KUHAP bisa berjalan optimal tanpa harus diatur secara rinci di dalam KUHAP itu sendiri.(Sekjend MDG)