Keluarga Korban Kecelakaan Beruntun Massyura Tersakiti Dua Kali: Setelah Terluka, Kini Difitnah Media
Aceh Timur. Media Dinamika Global.id.Duka keluarga Massyura belum benar-benar usai. Setelah menjadi korban dalam kecelakaan beruntun yang melibatkan dr. Suci Magfira, kini keluarga sederhana tersebut kembali diserang, bukan oleh roda kendaraan, melainkan oleh tulisan media yang dinilai tendensius dan penuh kebohongan.
Peristiwa kecelakaan itu mengakibatkan Massyura (22) mengalami cacat permanen, sementara ibunya Mariam (64) menderita patah tiga tulang iga dan satu tulang bahu. Atas kelalaiannya, dr. Suci Magfira divonis 8 bulan penjara, dengan potongan masa tahanan kota.
Namun, luka batin keluarga korban justru semakin dalam setelah media online paparazzi.com menerbitkan artikel berjudul “Kasus Dr. Suci: Ketika Keadilan Digeser Menjadi Tawar-Menawar, Diduga Wartawan Jadi ‘Juru Damai Berbayar’?” yang ditulis wartawan bernama Tri. Dalam artikel tersebut, keluarga Massyura dituduh melakukan “pemerasan” terhadap terpidana bersama dua wartawan lokal.
Ayah korban, Nurdin, dengan tegas membantah tuduhan tersebut. Ia menjelaskan bahwa keluarga korban tidak pernah melakukan pemaksaan, tekanan, atau ancaman kepada pihak dr. Suci sebagaimana definisi pemerasan dalam Pasal 368 KUHP.
“Anak kami korban, bahkan cacat permanen. Kami hanya ingin dia mendapat pengobatan terbaik, minimal di Rumah Sakit Columbia Medan. Tidak ada unsur paksaan. Kami bahkan memberi pilihan agar pihak dr. Suci sendiri yang membawa anak kami berobat. Jadi di mana letak pemerasannya?” jelas Nurdin.
Dalam proses hukum, pihak terpidana sempat meminta berdamai. Keluarga korban menawarkan pilihan agar terpidana menanggung biaya pengobatan yang diperkirakan mencapai Rp300 juta. Namun, dr. Suci hanya sanggup Rp100 juta. Tidak tercapai kesepakatan, maka proses hukum tetap berjalan hingga vonis.
Selama tujuh bulan awal, keluarga korban mengaku tak mendapat kejelasan apa pun dari pihak terpidana. Barulah setelah didampingi dua wartawan, Kasmidi Panjaitan dan Muksin, serta YARA (Yayasan Advokasi Rakyat Aceh), kasus ini mulai menemukan titik terang.
Wartawan Kasmidi Panjaitan mengecam tulisan Tri yang dinilainya tidak memenuhi kaidah jurnalistik. Ia menyebut karya tersebut “abu-abu”: tidak jelas apakah berita fakta atau opini, serta minim verifikasi dan konfirmasi.
“Tri menulis seperti surat kaleng. Saya sudah mencoba menghubungi dia berkali-kali untuk hak jawab, tapi dia tak berani mengangkat telepon. Ini sangat tidak etis,” ujar Kasmidi.
Ia menilai Tri belum memahami fungsi wartawan secara utuh, termasuk fungsi edukasi dan advokasi kepada masyarakat lemah.
Atas pemberitaan tersebut, keluarga korban dan dua wartawan yang dirugikan meminta Dewan Pers untuk menilai apakah tulisan Tri memenuhi standar jurnalistik atau tidak. Mereka berharap ada edukasi bagi publik agar tidak terjadi pembodohan akibat karya jurnalis yang tidak profesional.
“Kami sangat dirugikan, tapi bila dia mau bertobat dan meminta maaf, kami anggap selesai,” tutup Nurdin. (Tim MDG)