HALSEL, Mediadinamikaglobal.id –Sikap Bupati Halmahera Selatan, Bassam Kasuba, kembali menuai kritik keras setelah dirinya melantik empat Kepala Desa yang sebelumnya telah dibatalkan Surat Keputusannya oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Langkah ini dinilai sebagai bentuk kesewenang-wenangan kekuasaan, sekaligus potret buruk kepatuhan Pemerintah Daerah terhadap putusan hukum yang telah berkekuatan tetap.
Pengacara dan pemerhati hukum tata pemerintahan, Bambang Joisangaji, menilai tindakan Bupati tersebut bertentangan dengan asas pemerintahan yang baik, terutama kepastian hukum dan ketaatan terhadap putusan peradilan. Menurutnya, pelantikan ulang terhadap figur yang telah dinyatakan cacat SK-nya oleh PTUN adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan secara hukum.
“Ini bukan sekadar persoalan administrasi, tetapi persoalan kepatuhan terhadap putusan pengadilan. Melantik kembali seseorang yang sudah dibatalkan SK-nya oleh PTUN adalah tindakan yang berpotensi mengabaikan hukum dan merusak integritas penyelenggaraan pemerintahan,” tegas Bambang.
Ironisnya, di tengah sorotan publik, Bupati Bassam Kasuba justru menyampaikan bahwa dinamika seperti ini adalah “hal biasa” dan mempersilakan pihak yang keberatan menempuh jalur hukum. Pernyataan santai ini dinilai Bambang sebagai sikap yang kontradiktif dan tidak konsisten dengan langkah nyata Pemda.
“Bagaimana mungkin Bupati meminta warga menggugat ke PTUN, sementara di sisi lain ia justru mengulang tindakan yang sudah dibatalkan oleh putusan pengadilan? Ini paradoks. Tidak bisa seorang pejabat eksekutif berbicara soal supremasi hukum sambil mengabaikan putusan yang sudah inkracht,” kritik Bambang Joisangaji.
Lebih jauh, DPRD Halmahera Selatan juga telah mengirimkan rekomendasi resmi terkait polemik ini. Bassam mengakui bahwa surat tersebut telah diterima dan sedang dikaji oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD). Namun, Bambang menilai alasan “masih dikaji” justru semakin membuka ruang pertanyaan.
“Apa yang sedang dikaji? Putusan PTUN itu jelas, tegas, dan final. Jika SK sebelumnya sudah dibatalkan, maka melantik kembali tanpa memperbaiki cacat hukum adalah tindakan yang justru berpotensi memperbesar konflik,” ujarnya.
Bambang menambahkan, jika Pemda tetap mempertahankan SK baru untuk figur yang sama, potensi gugatan ulang di PTUN sangat terbuka. Bahkan, pejabat yang tetap memaksakan pelantikan dapat dikenai konsekuensi administratif karena dinilai mengabaikan putusan pengadilan.
Kritik semakin deras setelah Bupati kembali menegaskan bahwa pihak yang keberatan “silakan menguji SK ke TUN ataupun Mahkamah Agung.” Menurut Bambang, pernyataan tersebut adalah bentuk pengalihan tanggung jawab dan menunjukkan ketidakselarasan antara ucapan dan tindakan.
“Jangan hanya bicara soal keterbukaan terhadap gugatan. Keterbukaan harus dibuktikan dengan kepatuhan terhadap putusan hukum, bukan mengulang objek yang sudah dibatalkan dan kemudian meminta rakyat untuk menggugat lagi,” pungkasnya.
Di tengah kondisi yang semakin kompleks, publik kini menanti sikap tegas Pemda untuk menjalankan prinsip negara hukum secara konsisten. Hingga kini, polemik pelantikan empat Kepala Desa itu masih menggantung dan menjadi potret buram tata kelola pemerintahan daerah.
Unces///
