Spirit KH. Hasyim As’ari Dan Disrupsi Profesi Guru

Foto : Ramli (Dosen FTK UIN Mataram).

Mataram-NTB, Media Dinamika Global.Id.

Sejak dimulainya virus Covid-19 melanda seluruh penjuru dunia, hampir disemua sektor kehidupan manusia terdampak, baik sektor ekonomi, socsal-budaya, kesehatan, kegiatan keagamaan dan tak terkecuali dunia pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu sektor esensial yang sangat terasa dampaknya hingga akhir  ini. Meski berbagai upaya dan intervensi telah dilakukan pemerintah, mulai dari bantuan sarana dan fasilitas belajar, bantuan kuota belajar, penyesuaian kurikulum darurat, penyederhanaan komponen RPP, bahkan terbaru telah terbit kebijakan kurikulum merdeka, kurikulum merdeka belajar kampus merdeka (MBKM) tampaknya sisa-sisa Covid-19 memerlukan langkah besar agar mutu pendidikan di Indonesia tidak tertinggal dari negara lain.

Dampak dari Covid-19 juga rentan mendisrupsi profesi guru, baik guru pada pendidikan umum maupun guru pada madrasah.  Guru tak lagi dilihat dari senioritasnya atau seberapa lama ia mengabdi, namun seberapa banyak kompetensi yang dimiliki untuk bisa beradaptasi dengan tuntutan teknologi dan informasi. Sejak virus Covid-19 melanda, kultur pembagian jam mengajar bergeser, dari pola lama ke pola baru. Dulu kepala sekolah dalam membagi jam mengajar mempertimbangkan jumlah guru, kelas, dan pengalaman. Kini juga mempertimbangkan kompetensi teknis dalam mengoperasikan perangkat teknologi dan informasi (IT). 

Tak sedikit guru yang terpaksa didampingi guru ataupun orang lain yang melek digital karena pertimbangan (non-skill) terkait teknologi alias GAPTEK. Semata untuk keperluan membantu teknis mengoperasikan media pembelajaran berbasis digital agar ia tetap mendapatkan jam mengajar. Kondisi tersebut menjadi pertanda bahwa guru saat ini menghadapi tuntutan kompetensi teknologi dan informasi untuk mendukung kualitas layanan pendidikan yang lebih adaptif. Namun, guru yang literate dengan teknologi dan informasi bukan berarti segalanya. Karena ragam tantangan lain memerlakukan bukan sekedar kompetensi teknologi. Namun, ketajaman jiwa seseorang guru dalam mengabadikan diri di dunia pendidikan menjadi tagihan yang sangat fundamental.

Apalagi, dampak dari Covid-19, ragam kerentanan baru pada anak usia pelajar terus bermunculan. Kerentanan anak putus sekolah, kerentanan menikahkan anak daripada melanjutkan pendidikan, kerentanan anak terpapar media digital, kerentanan anak mengalami masalah psikologis, kerentanan anak menjadi pelaku bullying sebagai akibat lekatnya dengan akses kekerasan di media digital, dan kerentanan lainnya. Kondisi tersebut memerlukan guru yang memiliki ketajaman jiwa sebagai pendidik (mengajar dengan hati), sebagai orang tua, sebagai mentor, bahkan sebagai sahabat. Dan bukan sekedar sebagai pengajar yang handal teknologi. Namun tak peka terhadap masalah yang dihadapi peserta didik.

Spirit KH. Hasyim Asy’ari
Untuk mengatasi ragam tantangan di atas, diperlukan guru yang responsive sekaligus sebagai pelindung bagi anak. Pribadi yang demikian memerlukan spirit KH. Hasyim Asy’ari  agar guru memiliki ketajaman jiwa sebagai pendidik sejati.

KH. Hasyim Asy’ari sebagai salah satu peletak dasar  perubahan pada organisasi Islam Nahdlatu Ulama dalam salah satu karyanya yang berjudul “Adab al-‘Alim wa Muta’allim”,  berisikan  nilai-nilai etika, moral dan  karakter  yang wajib  dipunyai  oleh para praktisi  pendidikan terutama  para pendidik dan peserta  didik sebagaimana nilai-nilai etika, moral dan karakter yang dicanangkan  pemerintah sekarang ini sebagai bentuk respon terhadap pengaruh dari perubahan  dan tuntutan zaman . Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat “ menurunkan” kebangunan ke dalam jiwa anak (mengajar dengan hati nurani). 

Dari pandangan KH. Hasyim Asy’ari tersebut, setidaknya terdapat dua kata kunci; pertama, menjadi guru sejati, tak sekedar mengandalkan syarat formil; kedua, guru yang memiliki idealism dalam jiwanya sebagai pendidik merupakan guru terbaik. Dengan kata lain, untuk mewujudkan cita-cita pendidikan nasional, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (termaktub di Undang-Undang RI nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional), diperlukan guru yang dalam pribadinya dilandasi dengan panggilan nurani.

Pandangan dimaksud sejalan dengan undang-undang guru dan dosen pasal 7 ayat 1 bahwa profesi guru merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasar prinsip; memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealism. Karena panggilan jiwa, guru perlu memiliki antara lain: 
(1). Kasih sayang kepada peserta didik, 
(2). Sesadaran akan profesinya sebagai tugas mulia.
(3). Sebagai pelindung anak, 
(4). Melakukan tugas dilandasi dengan rasa tanggung jawab, 
(5). Serta dengan inovasi yang membahagiakan anak untuk belaja Mengajar Dengan Hati.

Salah satu unsur yang aharus ada dalam proses pembelajaran adalah pendidik. Pendidik pempunyai keterkaitan erat dengan  peserta didik dalam proses pendidikan. Keterkaitan antara  pendidik dengan peserta didik dalam proses pendidikan disebut pergaulan pendidikan. Dalam pergaulan pendidikan tersebut akan muncul kewibawaan pendidik yang berperan penting dalam mencapai tujuan pendidikan.

Guru memang bukan hanya pengajar (teacher), namun harus didefinisikan secara lebih luas lagi, karena memang seorang guru yang ingin berhasil harus lebih dari sekedar mengajar (teach). Dani Ronnie (2009: 26) dalam bukunya berjudul “ Seni Mengajar Dengan Hati” menjelaskan, bahwa guru adalah seorang yang mengajar dengan hatinya, membimbing dengan nuraninya, mendidik dengan segenap keihlasan,  menginspirasi  dan menyampaikan kebenaran dengan rasa kasih saying. Tak kalah pentingnya  adalah passion-nya untuk mempersembahkan apapunyang dikaaryakan sebagai ibadah terhadap Tuhannya.

Sebuah tantangan besar bagi guru pada era teknologi dan informasi sekarang ini, peserta didik sudah  mulai mengarahkan kiblatnya kepada gadget, guru hanya sekedar formalitas saja. Dengan demikian seorang guru pada era sekarang ini tidak cukup hanya membekali diri dengan penguasaan materi saja, akan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana cara menyampaikan pesan  materi tersebut kepada peserta didik.

Mengajar dengan hati adalah suatu konsep yang mengajarkan agar seorang guru memiliki sudut pandang (the teacher mindset) dalam menjalani peran serta menyikapi profesinya sebagai guru, sehingga guru menjadi pribadi berkualitas yang mampu menjadikan penyemangat (inspirator) bagi peserta didik dalam menggapai cita-citanya. Mengajar dengan hati yakni mengubah mindset dan mengembalikan ruh atau spiritual seorang guru yang menjadikan tugas dan tanggung jawabnya sebagai ibadah, menjadikan dirinya sebagai tauladan atau contoh bagi peserta didiknya, bukan hanya sekedar pemberi contoh. Mengajar sepenuhnya karena panggilan jiwa dengan ketulusan dan keikhlasan dan juga rasa kasih sayang sebagai bentuk pengabdian dan keinginan memajukan serta mencerdaskan anak bangsa dalam menanamkan nilai-nilai kehidupan.

Seorang tokoh pendidik karakter Lickona (1992)  berpesan,  bahwa untuk membangun pendidikan yang berkualitas, guru tak hanya dituntut memiliki hard skill, namun lebih dari itu mesti memiliki kompetensi soft skill berupa keikhlasan, kasih saying, dan idealisme untuk mendidik. Inilah yang membedakan profesi guru dengan profesi-profesi lainnya.

Dengan hadirnya guru yang demikian, dunia pendidikan akan semakin memerdekakan anak untuk belajar dan berkembang sesuai dengan bakat dan potensinya, dunia pendidikan pun semakin kompetitif dan mampu menjadi solusi beragam masalah kehidupan. Semoga kita  sebagai guru terinspirasi, Aamiiin.

• Mahasiswa S.3  Pasca Sarjana Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Islam Negeri Mataram.

Penulis: Ramli (Dosen FTK UIN Mataram).
Load disqus comments

0 comments