Riau — Ketegangan antara masyarakat adat Suku Sakai di kawasan Duri 13, Kecamatan Bathin Solapan, Kabupaten Bengkalis, kembali memuncak. Pada Senin, 2 Desember 2025, bentrokan berdarah terjadi antara masyarakat setempat dengan kelompok karyawan PT Sinar Inti Sawit (SIS), dipicu sengketa pengelolaan kebun sawit yang sebelumnya telah disita oleh Satuan Tugas Penerbitan Kawasan Hutan (Satgas PKH). Rabu 3 Desember 2025.
Kejadian berlangsung di sekitar perkampungan pemda, kawasan Jalan Lintas Raya–Dumai. Bentrokan ini menyebabkan salah seorang warga Suku Sakai mengalami luka berat akibat sabetan senjata tajam dan harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit.
Latar Belakang Konflik: Kebun Sawit Disita, Panen Tetap Berjalan
Satgas PKH sebelumnya menyita kebun sawit PT SIS seluas 732 hektare yang berada di Desa Bumbung dan Pamesi. Sesuai prosedur, aset sitaan tersebut seharusnya dikelola oleh PT Agrinas Palma Nusantara (APN), sebuah badan usaha negara. Namun, penyerahan pengelolaan tak berjalan mulus.
Di lapangan, PT SIS justru masih bebas memanen Tandan Buah Segar (TBS), sehingga memicu kecurigaan serta kemarahan warga. Masyarakat menilai PT SIS lebih dominan dibanding PT APN, bahkan dibanding Satgas PKH sendiri.
Pada 2 Desember, warga Duri 13 berinisiatif menahan aktivitas keluar masuk panen sawit dari kebun yang dianggap sudah berstatus sitaan negara. Namun aksi tersebut berbuntut bentrokan setelah sekelompok karyawan PT SIS datang dan menyerang warga menggunakan benda tumpul serta senjata tajam, hingga menyebabkan korban luka dari pihak masyarakat adat.
Konflik Horizontal Meletup, Masyarakat Merasa Dipicu Satgas PKH
Insiden ini memperlihatkan bagaimana operasi Satgas PKH justru menimbulkan konflik horizontal antara masyarakat adat dan pihak perusahaan. Sengketa kepemilikan dan pengelolaan sawit sitaan negara kini berkembang menjadi eskalasi kekerasan yang meresahkan warga Bathin Solapan.
Menurut masyarakat, ketidakjelasan status pengelolaan kebun sitaan serta lemahnya pengawasan negara membuka ruang bagi perusahaan untuk tetap beroperasi, yang kemudian memicu benturan dengan masyarakat adat yang merasa dirugikan.
AGRA Angkat Suara: Hentikan Kekerasan, Kembalikan Tanah Leluhur Sakai
Merespons kejadian ini, Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) menyampaikan sikap tegas dan mengecam keras tindakan kekerasan terhadap masyarakat adat Sakai. AGRA menilai peristiwa ini adalah akibat langsung dari kebijakan Satgas PKH yang tidak berpihak pada rakyat dan memperkeruh persoalan agraria di Riau.
AGRA menyampaikan lima sikap resmi sebagai berikut:
1. Solidaritas untuk Suku Sakai
AGRA menyatakan dukungan penuh terhadap perjuangan masyarakat adat Sakai di Duri 13, serta mendesak dihentikannya segala bentuk intimidasi, diskriminasi, dan kekerasan terhadap kelompok minoritas tersebut.
2. Kembalikan Tanah Leluhur Suku Sakai
AGRA menegaskan bahwa tanah-tanah yang telah disita negara harus dikembalikan kepada Suku Sakai selaku pemilik wilayah adat. Suku Sakai berhak menentukan pengelolaan tanah tersebut, apakah ingin bekerja sama atau menghutankannya kembali.
3. Bubarkan Satgas PKH
AGRA menilai Satgas PKH dan PT APN justru menjadi pemicu konflik horizontal dan memperkuat dominasi kapitalis-birokrat atas komoditas sawit dan pertambangan. Karena itu, mereka mendesak pemerintah membubarkan Satgas PKH.
4. Hentikan Perampasan Tanah Rakyat
Organisasi ini juga meminta pemerintah mengembalikan tanah-tanah rakyat yang disita secara manipulatif dengan dalih penerbitan kawasan hutan kepada petani miskin dan masyarakat tak bertanah.
5. Jalankan Land Reform Sejati
AGRA mendesak pemerintah melaksanakan reforma agraria sejati dengan membagikan tanah secara cuma-cuma kepada buruh tani dan petani kecil sebagai fondasi industrialisasi nasional.
Warga Minta Perlindungan Negara
Peristiwa penyerangan terhadap masyarakat adat Sakai menambah panjang daftar konflik agraria di Provinsi Riau. Masyarakat kini mendesak negara turun tangan secara penuh untuk memberikan perlindungan, menindak para pelaku kekerasan, dan memastikan bahwa proses penyitaan dan pengelolaan aset tidak lagi menimbulkan pertumpahan darah di lapangan.
