Lombok Barat, Media Dinamika Global.Id – Isu reklamasi di kawasan konservasi kembali memantik perhatian publik. Kamis malam, 5 November 2025, Lesehan Thomas Green House depan SMA 1 Gerung menjadi saksi pertemuan penting berbagai pemangku kepentingan yang membahas topik sensitif: apakah reklamasi di wilayah konservasi berpotensi menjerat pelakunya ke balik jeruji besi?
Diskusi publik yang digelar oleh Komunitas Peduli Reklamasi (KPR) ini menghadirkan sejumlah narasumber lintas sektor — mulai dari Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi NTB, Komisi III dan IV DPRD NTB, Kejaksaan Tinggi NTB, Ditreskrimsus Polda NTB, WALHI NTB, hingga kalangan akademisi dari berbagai universitas.
Acara berlangsung hangat dan dinamis. Para peserta saling bertukar pandangan tentang aspek hukum, lingkungan, serta tata kelola ruang laut dan wilayah pesisir di Nusa Tenggara Barat, khususnya di kawasan Gili Gede, Sekotong, yang kini tengah menjadi sorotan karena aktivitas reklamasi di wilayah konservasi.
Akademisi: “Reklamasi di Gili Gede Harus Dihentikan Sebelum Ada Kajian AMDAL”
Mewakili kalangan akademisi, Dr. Filona Dosen Universitas 45 Mataram, dalam paparannya menyoroti secara kritis dan tegas praktik reklamasi yang terjadi di Gili Gede, Kecamatan Sekotong. Menurutnya, wilayah tersebut bukan hanya destinasi wisata, tetapi juga kawasan konservasi yang memiliki nilai ekologis tinggi.
“Saya melihat pemberitaan dan data di lapangan, yang paling penting adalah kehati-hatian. Segala sesuatu harus memiliki dasar hukum yang jelas, sesuai dengan Undang-Undang dan peraturan presiden. Pemerintah harus menolak setiap bentuk reklamasi sebelum adanya dokumen AMDAL yang sah,” tegasnya.
Ia menilai, praktik reklamasi selama ini lebih banyak menguntungkan pihak investor daripada masyarakat lokal. Ia juga menyoroti persoalan tumpang tindih izin yang sering terjadi di wilayah pesisir.
“Untuk Gili Gede, izin yang dikeluarkan hanya sebatas pembangunan bungalow dan dermaga. Tapi praktik di lapangan meluas hingga merusak ekosistem pesisir. Ini menunjukkan lemahnya tata kelola dan minimnya pengawasan ruang laut,” ujarnya.
Ia pun menutup pernyataannya dengan rekomendasi tegas: “Penegakan hukum harus dilakukan, dan setiap aktivitas reklamasi wajib memiliki AMDAL yang transparan dan melibatkan masyarakat.”
Dari sisi pemerintah, Hanapi, perwakilan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB, menjelaskan bahwa laut sejauh 0 hingga 12 mil dari garis pantai merupakan wilayah kewenangan provinsi. Karena itu, setiap kegiatan di kawasan laut harus melalui mekanisme izin dan kajian resmi dari dinas terkait.
“Reklamasi memang diperbolehkan jika untuk kepentingan sosial, seperti pembangunan fasilitas umum. Namun, jika dilakukan di kawasan konservasi seperti Gili Gede, itu tentu melanggar hukum. Kawasan tersebut sudah ditetapkan sebagai zona konservasi laut, sehingga tidak boleh ada aktivitas yang mengubah ekosistemnya,” jelasnya.Hanapi menegaskan, pihaknya terus memantau perkembangan kasus reklamasi di Gili Gede dan akan berkoordinasi dengan instansi penegak hukum bila ditemukan pelanggaran.
Sementara itu, perwakilan dari Ditreskrimsus Polda NTB Ipda Bandi menyampaikan, bahwa pihaknya membuka ruang kolaborasi dengan berbagai lembaga untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran reklamasi di kawasan konservasi tersebut.
“Terkait penegakan hukum, kami berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Saat ini kami belum melakukan penyelidikan resmi, namun proses klarifikasi dan negosiasi awal sedang berlangsung. Jika ditemukan pelanggaran terhadap regulasi perizinan, kami siap menindak sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” ungkapnya.
Ia menambahkan, Polda NTB berkomitmen menjaga agar langkah penegakan hukum tidak tumpang tindih dengan kewenangan lembaga lain.
“Kami bekerja berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,” tegasnya.
Diskusi malam itu akhirnya berujung pada satu kesimpulan: pengelolaan wilayah pesisir dan laut di NTB membutuhkan koordinasi lintas sektor yang lebih kuat, mulai dari perizinan, pengawasan, hingga penegakan hukum. Semua pihak sepakat, bahwa reklamasi di kawasan konservasi harus dihentikan, jika belum memiliki dasar hukum yang jelas dan belum melewati kajian lingkungan yang komprehensif.
Kegiatan ini juga menghasilkan rekomendasi agar pemerintah daerah memperkuat pengawasan dan keterlibatan masyarakat dalam setiap proses perencanaan pembangunan di wilayah pesisir, agar tidak lagi terjadi konflik antara investasi dan kelestarian lingkungan. (Surya Ghempar).

