![]() |
Opick Paradewa dan Foto dari Nitizen Medsos Facebook, (Ist MDG). |
Opini : Taufiqurrahman,SH (Praktisi Hukum dan Aktivis Keadilan Sosial)
Bima, Media Dinamika Global.Id
Di Kabupaten Bima terdapat kisah yang dialami oleh saudari Puput adalah potret nyata dari bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang masih sering terjadi di balik pintu-pintu rumah, tetapi jarang mendapatkan keadilan yang semestinya.
Berdasarkan kronologi yang dituturkan, saudari Puput melalui Media sosial, tidak hanya mengalami kekerasan fisik seperti penendangan, pemukulan, dan pelemparan gelas saat sedang dalam kondisi sakit, tapi juga kekerasan psikis yang merendahkan harkat martabatnya sebagai seorang perempuan, ibu, dan manusia.
Bila kita melihat dalam pendekatan hukum positif Indonesia, perbuatan tersebut secara tegas telah melanggar Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang menyatakan bahwa : “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00.”.
Tidak hanya itu, bila kekerasan tersebut menimbulkan luka berat atau bahkan trauma berkepanjangan, pelaku dapat dikenai ancaman pidana yang lebih berat, sebagaimana diatur dalam pasal 44 ayat (2) dan (3) UU PKDRT.
Kalau kita memandang dari sisi hukum pidana umum, perbuatan memukul kepala, meludahi, dan menyebabkan luka hingga berdarah juga dapat dikenakan ketentuan Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, yang mengatur bahwa penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dapat dihukum hingga 5 tahun penjara, dan apabila dilakukan dalam keadaan memberatkan (misalnya terhadap orang yang sedang sakit), hal tersebut bisa menjadi pertimbangan pemberatan hukuman.
Yang lebih mendalam, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan secara moral maupun hukum, terlebih terhadap seorang istri yang sedang dalam kondisi sakit dan tetap menjalankan kewajiban domestiknya dengan sabar. Ini bukan hanya soal kekerasan fisik, tapi juga bentuk pengabaian, dominasi, dan pemaksaan relasi kuasa yang tidak seimbang dalam rumah tangga.
Dalam teori hukum progresif Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya hadir untuk "membebaskan manusia dari penderitaan", bukan menjadi alat pembiaran terhadap kekerasan yang dibungkus dalam kata "urusan rumah tangga".
Maka dari itu, kasus ini tidak boleh dibiarkan. Negara melalui aparat penegak hukum harus sigap, responsif, dan berpihak pada korban.
Saudari Puput berhak atas perlindungan hukum, pemulihan psikologis, dan keadilan yang memanusiakan dirinya. Setiap tetes darah yang keluar dari wajah perempuan yang sedang sakit dan mengurus rumah tangga itu adalah alarm bagi kita semua bahwa KDRT bukan aib yang harus ditutupi, melainkan kejahatan yang harus ditindak.
"Perempuan bukan untuk dipukul, tapi untuk diperlakukan dengan hormat."