Kurban Simbolik Dan Realitas: Antara Janji Politik Dan Pengorbanan Nyata - Media Dinamika Global

Rabu, 04 Juni 2025

Kurban Simbolik Dan Realitas: Antara Janji Politik Dan Pengorbanan Nyata


Opini. Media Dinamika Global.Id.- Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Adha sebagai momentum spiritual yang sarat makna: ketulusan, pengorbanan, dan keikhlasan. Ibadah kurban bukan sekadar ritual menyembelih hewan, melainkan simbol dari kerelaan melepaskan sesuatu yang sangat kita cintai demi tujuan yang lebih besar. Namun, ketika momen suci ini bersinggungan dengan arena politik, nilai-nilai itu sering kali hanya menjadi simbol—hampa makna dan manfaat nyata.

Dalam dunia politik Indonesia, narasi “pengorbanan” kerap dilontarkan para elite: rela mundur demi partai, menunda ambisi demi rakyat, atau berjuang tanpa pamrih demi negara. Namun, publik pun makin jeli: apakah itu betul-betul bentuk pengorbanan, atau sekadar strategi pencitraan yang dikemas dalam narasi religius?

*Kurban sebagai Nilai, Bukan Seremonial*

Kisah Nabi Ibrahim AS yang bersedia mengorbankan putranya atas perintah Tuhan adalah representasi puncak keikhlasan dan ketaatan. Ia bukan simbol politik, bukan panggung kampanye. Dalam konteks ini, kurban adalah tindakan konkret, berisiko, dan penuh konsekuensi. Maka, jika para pemimpin negeri mengklaim dirinya sebagai "pejuang rakyat", pengorbanan mereka seharusnya terlihat dalam sikap: memotong anggaran perjalanan mewah, memangkas birokrasi yang menyusahkan, atau bahkan mundur saat gagal menjalankan amanat.

Sayangnya, yang kerap terjadi justru sebaliknya. Idul Adha menjadi ajang bagi politisi untuk membagikan daging kurban sambil berswafoto, menyampaikan pesan-pesan “keikhlasan” melalui baliho, atau mengaitkan kurban dengan loyalitas politik. Di sini, makna kurban direduksi menjadi simbol seremonial semata—terlihat, tapi tidak menyentuh esensinya.

*Janji Politik: Di Mana Letak Pengorbanannya?*

Janji politik, pada dasarnya, adalah komitmen terhadap kepentingan publik. Ketika seseorang berjanji akan memperbaiki pendidikan, membangun jalan, atau menurunkan harga bahan pokok, maka dia sedang menyiapkan dirinya untuk berkorban: waktu, tenaga, bahkan kenyamanan pribadi. Namun jika setelah terpilih, janji itu dilupakan dan kepentingan pribadi yang dikedepankan, maka sejatinya tidak ada “kurban”—yang ada hanyalah transaksi.

Pengorbanan sejati tidak membutuhkan sorotan kamera. Ia hadir dalam bentuk kebijakan yang tidak populer tapi menyelamatkan rakyat, dalam keputusan sulit demi keadilan, atau dalam sikap diam saat difitnah tapi tetap bekerja dengan tulus. Ini jauh berbeda dengan kurban simbolik yang hanya menyentuh permukaan.

*Refleksi Idul Adha untuk Pemimpin*

Idul Adha adalah waktu yang tepat untuk para pemimpin, baik yang sedang menjabat maupun yang sedang mempersiapkan diri menuju kekuasaan, untuk merenung: apakah mereka benar-benar rela berkorban demi rakyat? Apakah jabatan dipandang sebagai amanah atau semata-mata kendaraan kekuasaan? Apakah janji kampanye benar-benar diniatkan untuk ditepati, atau sekadar umpan elektoral?

Jika makna kurban dipahami dengan sungguh-sungguh, maka bangsa ini akan memiliki pemimpin yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga rela melepaskan kepentingannya demi kebaikan bersama. Inilah wujud nyata dari pengorbanan: diam-diam, dalam, dan berdampak luas.

Sebagai Penutup Penulis Ingin Mengatakan

Di tengah krisis kepercayaan terhadap elite politik, masyarakat membutuhkan lebih dari sekadar simbol kurban. Yang dibutuhkan adalah pengorbanan nyata—seperti yang dicontohkan Nabi Ibrahim: berani melepas, ikhlas memberi, dan taat pada nilai moral tertinggi. Karena hanya dengan itu, bangsa ini bisa benar-benar bangkit dan bersatu.

Oleh: Muhammad Fakhrur Rodzi, S.IP., M.IP

(Lingkar Pinggir Bima)


Desa Kalampa, Kamis 05 Juni 2025

Comments


EmoticonEmoticon