Media Dinamika Global: Opini
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Jumat, 25 Juli 2025

Sekolah Agama dan Kurikulum Cinta

Suaeb Qury (Wakil Sekretaris Wilayah PW NU Provinsi NTB).

Opini :
Suaeb Qury (Wakil Sekretaris Wilayah PW NU Provinsi NTB)

Mataram, Media Dinamika Global.Id

Ketika Presiden Prabowo Subianto menunjuk Prof. Dr. H. Nazaruddin Umar, MA sebagai Menteri Agama Republik Indonesia, publik tak hanya menyambutnya sebagai penunjukan figur akademik dan tokoh toleransi, tapi juga sebagai harapan akan arah baru Kementerian Agama. Dalam waktu singkat, salah satu inisiatif visioner beliau yang mulai mengemuka adalah apa yang disebut sebagai Kurikulum Cinta.

Meskipun istilah ini terdengar sederhana, bahkan mungkin terlalu puitis bagi sebagian kalangan birokrasi, Kurikulum Cinta justru memuat gagasan mendalam tentang bagaimana agama semestinya diajarkan dan dihayati: sebagai jalan cinta kasih terhadap Tuhan, sesama, dan semesta. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi oleh identitas agama dan budaya, gagasan ini relevan, bahkan urgen.

Apa itu Kurikulum Cinta? Dalam pemahaman paling mendasar, Kurikulum Cinta menempatkan setiap manusia tanpa membedakan asal-usul, agama, ras, atau keyakinannya sebagai titipan suci dari Tuhan. Ia harus dihargai, dirawat, dididik, dan dicintai. Maka, proses pendidikan keagamaan tidak boleh berujung pada eksklusivisme, intoleransi, atau diskriminasi tetapi justru menjadi ladang subur bagi tumbuhnya welas asih, kebijaksanaan, dan kepedulian lintas batas.

Inilah yang menjadi orientasi dasar dari pembaruan pendidikan agama. Sebuah kurikulum yang tak sekadar menekankan hafalan teks suci atau penguasaan hukum-hukum ritual, tetapi lebih jauh lagi membentuk watak manusia yang berani mencintai, bahkan ketika berbeda.

Selama ini, sekolah-sekolah agama sering dilihat sebagai tempat pembelajaran akidah dan ibadah. Namun di era Kurikulum Cinta, sekolah agama perlu tampil sebagai taman cinta tempat anak-anak belajar membangun hubungan yang harmonis, baik dengan Tuhan, sesama, maupun lingkungan hidup.

Gagasan ini tak lepas dari pendekatan ekoteologi yang juga diangkat oleh Menteri Agama. Ekoteologi memandang bahwa spiritualitas sejati bukan hanya terletak pada relasi vertikal dengan Tuhan, tetapi juga pada relasi horizontal dengan sesama manusia dan relasi ekologis dengan alam semesta. Ketiganya adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan.

Dengan demikian, Kurikulum Cinta sesungguhnya adalah jawaban atas krisis multidimensi yang dihadapi masyarakat global hari ini krisis empati, krisis lingkungan, dan krisis moralitas. Ketika agama hanya diajarkan sebagai doktrin, ia mudah terjebak dalam politisasi dan simbolisme. Tapi ketika agama dihidupkan sebagai cinta, ia menjadi kekuatan penyembuh dan pemersatu.

*Dari Visi ke Implementasi*

Tentu saja, sebuah gagasan tidak cukup hanya berhenti di atas kertas. Kurikulum Cinta harus diimplementasikan secara konkret dalam sistem pendidikan, pelatihan penyuluh agama, pembinaan keluarga, hingga dalam pelayanan-pelayanan keagamaan seperti di kantor KUA, pesantren, dan madrasah.

Guru agama, penyuluh, dan penghulu menjadi aktor kunci dalam keberhasilan kurikulum ini. Mereka harus dibekali pemahaman dan kemampuan praktis untuk membumikan nilai cinta dalam materi dan metode pembelajaran. Pendidikan agama yang keras, eksklusif, dan berjarak dari realitas sosial harus digantikan oleh pendidikan yang ramah, dialogis, dan kontekstual.

Kementerian Agama juga perlu merumuskan indikator keberhasilan yang tidak hanya bersifat kognitif atau administratif, tetapi afektif dan transformatif. Apakah anak-anak mampu bersikap toleran? Apakah mereka mencintai lingkungan? Apakah mereka memiliki empati terhadap yang lemah? Inilah pertanyaan-pertanyaan yang perlu masuk ke dalam evaluasi pendidikan agama kita.

*Tugas Kita Bersama*

Perjalanan menuju Indonesia yang damai dan beradab melalui Kurikulum Cinta tentu bukan tugas Kementerian Agama semata. Ini adalah proyek moral dan spiritual seluruh bangsa. Kurikulum Cinta perlu didukung oleh keluarga, masyarakat, media, dan tentu saja para pemuka agama dari berbagai latar belakang.

Kita memerlukan gerakan bersama untuk membangun budaya cinta dalam kehidupan sosial, politik, dan pendidikan kita. Cinta, dalam hal ini, bukan sekadar emosi personal, tetapi prinsip etik tertinggi dalam hubungan antarmanusia.

*Kembali ke Fitrah Agama*

Agama, sejatinya, hadir untuk memanusiakan manusia. Maka, ketika agama justru digunakan untuk merendahkan, menyingkirkan, atau bahkan memusuhi sesama manusia, di situlah agama telah kehilangan rohnya. Kurikulum Cinta adalah ajakan untuk kembali ke fitrah agama: membimbing, bukan menghakimi; menyembuhkan, bukan melukai; dan mencintai, bukan membenci.

Jika ini bisa kita tanamkan dalam sistem pendidikan agama kita, maka masa depan Indonesia akan lebih cerah: bukan hanya dari segi ilmu pengetahuan, tetapi juga dari sisi kemanusiaan. (*).

Kekerasan dalam Rumah Tangga Bukan Soal Privasi, Tapi Soal Kejahatan

Opick Paradewa dan Foto dari Nitizen Medsos Facebook, (Ist MDG).

Opini : Taufiqurrahman,SH (Praktisi Hukum dan Aktivis Keadilan Sosial)

Bima, Media Dinamika Global.Id

Di Kabupaten Bima terdapat kisah yang dialami oleh saudari Puput adalah potret nyata dari bentuk kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang masih sering terjadi di balik pintu-pintu rumah, tetapi jarang mendapatkan keadilan yang semestinya.

Berdasarkan kronologi yang dituturkan, saudari Puput melalui Media sosial, tidak hanya mengalami kekerasan fisik seperti penendangan, pemukulan, dan pelemparan gelas saat sedang dalam kondisi sakit, tapi juga kekerasan psikis yang merendahkan harkat martabatnya sebagai seorang perempuan, ibu, dan manusia.

Bila kita melihat dalam pendekatan hukum positif Indonesia, perbuatan tersebut secara tegas telah melanggar Pasal 44 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang menyatakan bahwa : “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00.”.

Tidak hanya itu, bila kekerasan tersebut menimbulkan luka berat atau bahkan trauma berkepanjangan, pelaku dapat dikenai ancaman pidana yang lebih berat, sebagaimana diatur dalam pasal 44 ayat (2) dan (3) UU PKDRT.

Kalau kita memandang dari sisi hukum pidana umum, perbuatan memukul kepala, meludahi, dan menyebabkan luka hingga berdarah juga dapat dikenakan ketentuan Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, yang mengatur bahwa penganiayaan yang mengakibatkan luka berat dapat dihukum hingga 5 tahun penjara, dan apabila dilakukan dalam keadaan memberatkan (misalnya terhadap orang yang sedang sakit), hal tersebut bisa menjadi pertimbangan pemberatan hukuman.

Yang lebih mendalam, tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan secara moral maupun hukum, terlebih terhadap seorang istri yang sedang dalam kondisi sakit dan tetap menjalankan kewajiban domestiknya dengan sabar. Ini bukan hanya soal kekerasan fisik, tapi juga bentuk pengabaian, dominasi, dan pemaksaan relasi kuasa yang tidak seimbang dalam rumah tangga.

Dalam teori hukum progresif Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya hadir untuk "membebaskan manusia dari penderitaan", bukan menjadi alat pembiaran terhadap kekerasan yang dibungkus dalam kata "urusan rumah tangga".

Maka dari itu, kasus ini tidak boleh dibiarkan. Negara melalui aparat penegak hukum harus sigap, responsif, dan berpihak pada korban.

Saudari Puput berhak atas perlindungan hukum, pemulihan psikologis, dan keadilan yang memanusiakan dirinya. Setiap tetes darah yang keluar dari wajah perempuan yang sedang sakit dan mengurus rumah tangga itu adalah alarm bagi kita semua bahwa KDRT bukan aib yang harus ditutupi, melainkan kejahatan yang harus ditindak.

"Perempuan bukan untuk dipukul, tapi untuk diperlakukan dengan hormat."

Senin, 21 Juli 2025

Masa Tahanan Segera Berakhir, Para Tersangka Akan Segera Diadili?

Taufiqurrahman, S.H (Praktisi Hukum dan Aktivis Keadilan Sosial)
dan 6 Aktivis diamankan di Polda NTB, (Ist/Surya Ghempar).

Opini : Taufiqurrahman, S.H (Praktisi Hukum dan Aktivis Keadilan Sosial).

Bima, Media Dinamika Global.Id

Berangkat dari Dokumen resmi dari Kepolisian Resor Bima bertanggal 29 Mei 2025 mengungkapkan bahwa Enam orang Mahasiswa telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana kekerasan secara bersama-sama di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 KUHP. 

Dalam penetapan tersangka tersebut mencakup nama-nama seperti Muh. Yunus, Deden Dwi Yanto, Firdaus, Erwin Setiawan, dan Aditia serta M.Alfiansyah, yang merupakan mayoritas masih berstatus pelajar dan mahasiswa, dengan usia rata-rata di bawah 25 tahun.

Dalam dokumen tersebut, penetapan status tersangka tertanggal 29 Mei 2025, dan merujuk pada proses hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 109 Ayat (1) KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya. Masa penahanan secara hukum, berdasarkan KUHAP, hanya dapat dilakukan maksimal 20 hari dan dapat diperpanjang 40 hari jika dibutuhkan untuk kepentingan penyidikan.

Dengan melihat tanggal penetapan tersebut, maka masa penahanan para tersangka akan mencapai batas maksimalnya pada tanggal 27 Juli 2025. Artinya, aparat penegak hukum Polres Bima berada dalam tenggat waktu krusial untuk menentukan nasib para tersangka, apakah segera dilimpahkan ke kejaksaan untuk disidangkan, atau dilepaskan demi hukum karena tidak cukup bukti untuk melanjutkan proses pidana.

Momen beberapa hari kedepannya sangat menentukan, tidak hanya bagi para tersangka dan keluarganya, tetapi juga bagi kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Jika memang bukti-bukti yang dimiliki oleh penyidik cukup kuat, maka logis bila berkas perkara segera dinyatakan lengkap (P-21) dan para tersangka diserahkan ke kejaksaan untuk menjalani proses persidangan. Namun, jika terdapat keraguan, atau jika proses pembuktian tidak meyakinkan, maka sudah seharusnya para tersangka dibebaskan sesuai asas "in dubio pro reo".

Kita akan melihat apakah Penegakan hukum yang berjalan sekarang memiliki  dasar pembuktian yang kuat ? Atau Tidak ? maka Jika tidak kuat berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama ketika menyangkut anak muda yang tengah menempuh pendidikan dan belum pernah terlibat kasus pidana sebelumnya.

Sebaliknya, jika terbukti terjadi pelanggaran hukum, maka proses hukum harus tetap berjalan dengan tetap menjunjung asas keadilan, proporsionalitas, dan kemanusiaan.

Tanggal 27 Juli 2025 bukan hanya batas akhir masa penahanan, tetapi juga menjadi titik tolak untuk melihat arah keadilan yang akan ditempuh negara dalam perkara ini. Akankah para tersangka segera diadili ? Ataukah mereka akan dibebaskan demi hukum karena kekurangan bukti ? Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi cerminan dari kualitas sistem hukum kita dalam menjawab tantangan keadilan.

Kita semua menanti: akankah hukum ditegakkan dengan adil, atau sekadar menjadi formalitas prosedural yang menyingkirkan rasa keadilan itu sendiri ?.

Editor : MDG.

Minggu, 20 Juli 2025

Tambang Rakyat dan Solusi Kedaulatan Rakyat

Suaeb Qury Wakil Sekretaris Wilayah PW NU Provinsi NTB, (Ist/Surya Ghempar).

Opini : Suaeb Qury Wakil Sekretaris Wilayah PW NU Provinsi NTB.

Mataram, Media Dinamika Global.Id

Di tengah derasnya arus investasi pertambangan berskala besar yang kerap kali menyisakan luka ekologis dan konflik sosial, hadirnya tambang rakyat menjadi salah satu solusi alternatif yang patut dipertimbangkan secara serius. Ide besar dan keinginan kuat dari individu maupun kelompok masyarakat sipil yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat semestinya didukung dan dilindungi. Apalagi bila gerakan tersebut berangkat dari semangat kemandirian dan berakar pada kebutuhan serta kepentingan masyarakat lokal.

Fenomena maraknya aktivitas tambang rakyat di berbagai wilayah Indonesia, termasuk di Nusa Tenggara Barat, menunjukkan adanya potensi ekonomi yang luar biasa yang selama ini belum sepenuhnya diberdayakan secara legal dan berkeadilan. Tambang rakyat bukan sekadar aktivitas penambangan tradisional, tetapi merupakan bentuk perjuangan ekonomi rakyat kecil untuk memperoleh penghidupan yang layak dari sumber daya alam yang ada di sekitarnya.

Konstitusi kita, UUD 1945, sejatinya memberikan landasan hukum yang kuat bagi eksistensi tambang rakyat. Pasal 33 ayat (3) menyatakan bahwa:

"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."

Makna "dikuasai oleh negara" dalam pasal ini tidak berarti dimonopoli oleh elit birokrasi atau segelintir pemodal besar, tetapi sebagai mandat untuk mengatur, mengelola, dan mendistribusikan manfaatnya secara adil kepada seluruh rakyat, termasuk masyarakat lokal yang menggantungkan hidup dari sumber daya tersebut.

Dengan demikian, mewadahi aktivitas tambang rakyat ke dalam bentuk koperasi atau badan hukum lainnya yang legal adalah upaya konkret untuk menyalurkan mandat konstitusi tersebut. Ini bukan hanya soal legalitas, tetapi juga soal kedaulatan rakyat atas sumber daya alam mereka sendiri.

"Koperasi Tambang Rakyat: Jalan Tengah yang Bijak"

Mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pengelolaan tambang dapat dilakukan melalui pembentukan Koperasi Tambang Rakyat (KTR). Koperasi ini berfungsi sebagai wadah kolektif yang memungkinkan para penambang rakyat beroperasi secara legal, tertib, dan ramah lingkungan. Melalui KTR, masyarakat bisa mendapatkan akses perizinan yang sah, pembinaan teknis, hingga fasilitas pemasaran yang lebih baik.

Lebih dari itu, koperasi juga memungkinkan adanya pengawasan bersama, sehingga praktik tambang rakyat tidak berubah menjadi tambang liar yang merusak lingkungan atau menjadi ladang eksploitasi oleh pihak-pihak yang tak bertanggung jawab.

Sayangnya, hingga kini regulasi perizinan tambang rakyat masih terlampau rumit, berbelit, dan cenderung memarginalkan masyarakat kecil. Hal ini justru membuka ruang bagi praktik tambang ilegal dan memperparah kerusakan lingkungan karena tidak adanya standar pengawasan yang memadai.

Sudah saatnya negara hadir melalui kebijakan afirmatif yang berpihak kepada rakyat. Pemerintah daerah, dinas terkait, hingga lembaga keagamaan seperti Nahdlatul Ulama, perlu mendorong hadirnya regulasi yang memudahkan masyarakat dalam memperoleh Izin Pertambangan Rakyat (IPR), tanpa mengorbankan aspek kelestarian lingkungan.

Menghidupkan tambang rakyat bukan berarti mengabaikan aspek lingkungan atau membuka pintu kehancuran alam. Justru, dengan pemberdayaan yang tepat, tambang rakyat bisa menjadi solusi yang adil dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Negara perlu mendengar suara rakyat dan memberikan ruang partisipatif dalam pengelolaan sumber daya alam.

Kita perlu kembali pada semangat UUD 1945: bahwa bumi, air, dan seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bukan segelintir elite.

Editor : Tim MDG.

Sabtu, 05 Juli 2025

Ironi Menuju Generasi Emas 2045, Sekolah Favorit Untuk Si Kaya, Sistem SPMB dan Zonasi Menggilas Si Miskin

/Sekolah Gratis Hanya Mimpi, Generasi Emas Akan Menjadi Mitos Indah Yang Tak Pernah Jadi Nyata


Opini Oleh: Suaeb Qury (Komisioner Komisi Informasi Provinsi NTB)

Indonesia tengah menatap masa depan penuh harapan melalui visi besar "Generasi Emas 2045" — sebuah generasi yang diharapkan unggul dalam ilmu pengetahuan, karakter, dan daya saing global.

Namun, di balik impian besar itu, ada kenyataan getir yang masih menghantui: biaya pendidikan yang diam-diam menjadi mimpi buruk bagi banyak keluarga Indonesia.

Di tengah gencarnya slogan "pendidikan gratis", "SPMB terjangkau", hingga "sekolah ramah lingkungan", realitas di lapangan berkata lain.

Banyak orang tua masih harus jungkir balik demi memastikan anak-anak mereka tetap bisa sekolah.

Benarkah Pendidikan Kini Gratis?

Secara formal, pemerintah telah menggulirkan program sekolah gratis untuk jenjang dasar dan menengah lewat dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Tapi praktiknya, “biaya siluman” tetap hadir dalam wujud seragam, buku paket, uang bangunan, iuran komite, hingga sumbangan yang bersifat “sukarela tapi wajib”.

Di beberapa sekolah negeri, bahkan iuran bulanan dan biaya ekstrakurikuler tetap dibebankan tanpa transparansi.

Maka, jargon "pendidikan gratis" seolah hanya menjadi kosmetik—yang menutupi kenyataan bahwa sekolah berkualitas tetap sulit diakses oleh mereka yang miskin.

SPMB: Akses atau Justru Seleksi Terselubung?

Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2025 mengusung empat jalur utama:

Jalur Domisili,

Jalur Prestasi,

Jalur Afirmasi (untuk siswa dari keluarga kurang mampu dan penyandang disabilitas), dan

Jalur Mutasi.

Sementara untuk tingkat lanjut, SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) terdiri dari jalur SNBP, SNBT, hingga jalur mandiri. Secara konsep, sistem ini menjanjikan inklusivitas.

Namun, faktanya, anak-anak cerdas dari keluarga miskin sering kali tereliminasi hanya karena keterbatasan biaya, bukan karena kurang layak.

Sekolah Ramah Lingkungan: Gimmick atau Gaya Hidup?

Banyak sekolah berlomba-lomba mencitrakan diri sebagai sekolah ramah lingkungan: menanam pohon, memilah sampah, membawa tumbler. Tapi benarkah semua itu jadi bagian dari kultur harian siswa?

Sayangnya, di banyak tempat, program hijau ini hanya menjadi seremonial musiman — ramai saat ada lomba atau kunjungan, sepi saat hari biasa.

Kesadaran lingkungan belum menjadi nilai hidup yang ditanamkan secara konsisten.

Sekolah Favorit: Mewah di Fasilitas, Mahal dalam Akses

Sekolah favorit tetap jadi primadona karena dianggap berkualitas dan berprestise tinggi. Tapi bisakah anak-anak miskin masuk ke sana?

Sistem zonasi yang bertujuan membuka akses justru memunculkan masalah baru: manipulasi domisili, diskriminasi budaya sekolah, hingga tekanan sosial yang berat bagi siswa kurang mampu.

Bahkan setelah lolos, perjuangan belum usai. Mereka harus bersaing dengan siswa dari keluarga berada yang punya akses bimbel mahal, laptop canggih, hingga lingkungan belajar yang kondusif.

Membangun Generasi Emas Butuh Keberpihakan Nyata

Menuju Generasi Emas 2045 tak cukup dengan program-program manis dan slogan-slogan gempita. Dibutuhkan:

Reformasi biaya pendidikan secara nyata, bukan sekadar bebas SPP.

Transparansi dalam seleksi masuk sekolah dan kampus.

Sekolah yang benar-benar ramah lingkungan dan inklusif.

Kesempatan yang setara bagi semua anak, tanpa melihat latar belakang ekonomi.

Karena generasi emas sejatinya bukan tentang siapa yang paling pintar, tapi tentang siapa yang benar-benar diberi kesempatan untuk tumbuh, belajar, dan berkontribusi bagi negeri.

Jika pendidikan masih menjadi mimpi mahal bagi mereka yang miskin, maka Generasi Emas 2045 tak akan lebih dari sekadar mitos indah yang tak pernah jadi nyata.

Jumat, 16 Mei 2025

Ketum HMI Mataram: Kongres PB HMI Ke-34 Sebagai Ruang Reflektif


Mataram, Media Dinamika Global.Id - Dalam catatan historis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) adalah organisasi Mahasiswa Islam tertua di Indonesia. 

Kader-kadernya di didik dengan optimisme untuk menghadapi dinamika zaman yang dinamis, maka tak heran secara kapasitas, kader HMI selalu diselimuti kepercayaan dan diberi ruang tersendiri untuk mengatur konsepsi tata kelola negara yang baik sehingga terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah SWT sebagaimana tujuan HMI itu sendiri.

Narasi diatas sebagai pengantar awal kita semua yang sudah berhimpun di dalam rumah Hijau Hitam, bahwa momentum Kongres PB HMI Ke-34 kita jadikan sebagai ruang reflektif untuk mengkaji ulang kebijakan dan strategi organisasi yang telah dijalankan oleh Kepengurusan PB HMI dibawah komando Ketum Makhfud juga penegasan konsepsi perjuangan HMI kedepan nya. Kongres HMI adalah forum tertinggi, karena disana lah arah dan kebijakan strategis organisasi ditentukan berdasarkan kewarasan berpikir kontekstual.

Sejauh ini, mendekati pelaksanaan forum tertinggi (Kongres) PB HMI Ke-34 dipekan baru, kita justru melihatnya sebagai agenda formalitas, ajang dendam politik, ruang penghukuman struktur kepengurusan, praktik pragmatisme yang mencederai independensi HMI hingga memprioritaskan Flayer-flayer caketum bertebaran dimana-mana, yang justru sama sekali tidak memuat  nilai Intelektual. 

Jika melirik konstitusi tentang status dan identitas (Pasal 8) HMI sesungguhnya organisasi perkaderan dan berperan sebagai organisasi perjuangan. Tentu ini menjadi tuntutan moral kita bersama terlebih para Kandidat Ketua Umum PB HMI memanfaatkan momentum Kongres sebagai ruang penyebarluasan gagasan bukan flayer insubstansional. Tentang dimana konsepsi kondisi kaderisasi dan skema perjuangan hingga kondisi eksternal soal rakyat, Pemuda dan  umumnya bangsa kita yang masih digerogoti oleh patologi yang nihil solutif, mampu ditata dan cepat menemui solutif kontruktif . Bukan sebaliknya, dijadikan sebagai ajang pencapaian kepentingan pribadi dan kelompok hingga mengorbankan identitas atas Historis HMI MPO.

Dengan demikian, Kongres PB HMI Ke-34 dipekanbaru akan sampai pada substansi berorganisasi dan akselerasi tujuan bersama di HMI terbinanya mahasiswa Islam menjadi insan Ulul Albab yang turut bertanggungjawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah SWT akan tercapai.

Penulis : Sudirman Ketua Umum HMI Mataram.