Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Suryadin : Salah Kaprah Caleg Terpilih Maju Dalam Pilkada 2024 Tidak Wajib Mundur Dari Jabatannya


Dompu NTB. Media Dinamika Global. Id.- Argumentasi Ketua KPU RI terkait dengan calon anggota legislatif (caleg ) terpilih pada pemilu 2024 dan memutuskan maju dalam pilkada 2024 tidak wajib mundur dari jabatannya serta hanya cukup mengundurkan diri dan berhenti dari jabatannya hanyalah anggota DPR/DPRD yang sedang menjabat dari hasil pemilu tahun 2019 adalah KELIRU dan cenderung membangkang dari perintah putusan Mahkamah Konstitusi.

Pasalnya caleg terpilih di pemilu 2024 akan dilantik dan berubah statusnya menjadi anggota legislatif pada 1 Oktober 2024 dan pelantikan anggota DPRD yang berbeda-beda karna akan disesuaikan dengan akhir masa jabatan masing-masing anggota DPRD, baik anggota DPRD Propinsi maupun anggota DPRD Kabupaten/Kota, sedangkan jika merujuk pada peraturan KPU No 2 tahun 2024 menyebutkan:

" Pendaftaran Pasangan Calon Kepala Daerah pada 27-29 Agustus 2024, penetapan pasangan calon pada 22 September 2024 hingga pelaksanaan kampanye dimulai pada 25 September hingga 23 Nopember 2024 ".

Terdapat beberapa hal yang menjadi dasar argumentasi Ketua KPU menjadi SALAH KAPRAH dalam konteks pencalonan kepala Daerah di pilkada 2024.

1. Langkah KPU yang tidak mengatur pengunduran diri caleg terpilih menunjukan sikap penyelenggaraan pilkada 2024 yang tidak adil sesuai dengan Azas penyelenggaraan pilkada dan bertentangan dengan konstitusi. Pasalnya perbedaan waktu antara tahapan pilkada dan pelantikan caleg terpilih dipemilu 2024 tentu berbeda dan dibutuhkan pengaturan yang lebih komprehensif. Khususnya pada tahapan pilkada yang mana, ketentuan caleg terpilih harus mengundurkan diri.

2. Dalam putusan MK No.12 tahun 2024 memerintahkan kepada KPU untuk mempersyaratkan bagi calon anggota DPR, DPD, DPRD terpilih yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah untuk membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi apabila tetap mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

3. Aturan waktu caleg terpilih dengan mengikuti siklus tahapan pilkada harus diatur, jika yang bersangkutan merupakan caleg terpilih, maka saat melakukan pendaftaran calon kepala daerah harus melampirkan surat pernyataan pengunduran diri jika telah dilantik secara resmi apabila tetap mencalonkan diri sebagai kepala daerah sesuai dengan tahapan pencalonan. Sehingga ketika tepat pada hari pelantikan anggota legislatif tersebut ( 1 Oktober 2024 untuk DPR dan DPD serta waktu pelantikan DPRD ), maka surat pengunduran diri yang didaftarkan saat pencalonan pilkada langsung dapat diproses pemberhentiannya sebagai anggota legislatif terpilih.

Atas dasar hal tersebut, kami mendorong:

- KPU harus menjamin penyelenggaraan pilkada yang adil serta menghindari praktik penyelenggaraan pilkada yang di ikuti oleh anggota legislatif terpilih pada potensi terjadinya penyalahgunaan kewenangan, serta gangguan kinerja jabatan.

- KPU harus melaksanakan perintah putusan MK dengan memasukkan syarat membuat surat pernyataan bersedia mengundurkan diri jika telah dilantik secara resmi apabila tetap mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

- Bawaslu harus melakukan pengawasan terhadap tahapan pencalonan dan memastikan KPU untuk melaksanakan perintah putusan MK.

Demikian, Semoga Bermanfaat.Suryadin (Gr.Gale )
Continue reading...

Ketua DEW RN NTB. NTB KITA.

OPINI IMAM FARDY

Mataram-NTB, Media Dinamika Global.Id._  Beredar di media online terkait dengan peryataan HK. Lalu Winengan baru-baru ini sangat disayangkan, saya Imam Fardy selaku Ketua Dewan Eksekutif Wilayah Nusa Tenggara Barat (DEW RN NTB), atas pernyataan beliau tersebut, terkesan memecah, membelah, dan dinilai bersifat primodialis, rasial, dan sektoral yang membawa paradigma kita sesama anak bangsa berada pada ruang-ruang partikular yang naif. 

Kita rasa di NTB ini bukan saja Gunung Rinjani dan sekitarnya, Nan jauh disana ada gunung Tambora, gunung Sangiang, gunung Semoan, dan lain-lain.

Sekarang kita hidup dialam terbuka dimana negara kita menganut sistem ketatanegaraan demokratis, bahwa setiap anak bangsa berhak berkontestasi siapapun itu termasuk beliau. 

Demokrasi membuka ruang, memberi jalan kepada siapapun. Berkaitan dengan Pilkada, siapa berjodoh dengan siapa tidak terbatasi oleh alam fikir kita, sepanjang memenuhi syarat dan Visi- misi yang sama. Siapapun itu,  tentu untuk keberlangsungan pembangunan dan kemajuan Daerah kita!.

Ditarik dalam pendidikan politik, kita melihat pernyataan beliau tidak memberi nilai edukasi bagi kita selaku generasi-generasi muda di NTB. Bagi kita kadang kala politik tidak selalu kakulasi interest semata, ada kalanya mementingkan soal kapabel, integritas, kredibilitas, dan akuntabilitas!.

Kita rasa, Tokoh-tokoh seperti beliau ini sangat diharapkan tampil sebagai pendidik dan pencerah bagi tumbuhnya pemuda-pemudi Daerah yang cemerlang, genuine dan bersahaja.

Penulis Opini : Imam Fardy

Editor : Surya Ghempar

Continue reading...

Dr. Alfisahrin, M.Si : Matinya Unversitas

Foto: Dr. AlfisahriN, M.Si, Antropolog/Wakil Direktur Politeknik Farma Husada Mataram.

Mataram-NTB, Media Dinamika Global.Id._ ADA dua buku yang menarik perhatian saya dalam membaca peta, arah, potensi dan masa depan universitas sebagai rumah peradaban dan sumber kemajuan intelektual. Buku pertama di tulis oleh ilmuan terkemuka dan disegani sebagai kritikus besar Amerika abad ini yakni Noam Chomsky "The Death of American University". Buku ini lebih banyak menyorot semakin melemahnya posisi dan kepercayaan publik terhadap peran praksis perguruan tinggi karena diaggapnya terlalu birokratis dan politis.

Buku kedua yang tidak kalah menariknya dari Peter Fleming isinya cukup menggelitik dan tentu saja provokatif judulnya “Dark Academia: How Universities Die”. Sama halnya dengan buku-bukunya yang sebelumnya, Fleming masih fokus meneliti tentang neoliberalisme. Agenda-agenda neoliberalisme yang beririsan dengan gencarnya arus kapitalisme dan demokrasi politik global seolah sudah tidak ada lagi kekuatan alternatif yang dapat membendungnya bahkan merangsek masuk hingga ke jantung dan rahim etik-ideologis perguruan tinggi.

Setidaknya, gagasan penting dan fundamental Fleming memiliki basis argumentasi yang lebih kuat, terutama saat dia menelisik dan menyelidiki tajam bagaimana sebuah universitas berjalan terseok-seok di masa pandemi global covid-19.

Narasi-narasi provokasi dan sarkastik yang diuraikan Fleming sangat kontekstual dengan situasi psikososial sejumlah perguruan tinggi di Indonesia bahkan merembes ke daerah-daerah. Setidaknya kita bisa mengamati bagaimana perguruan tinggi di era kontemporer bertransformasi menjadi korporasi yang menghidupi dirinya dengan terjun langsung ke pasar bebas lalu menjelma menjadi sebuah mesin-mesin ekonomi. Akibatnya perguruan tinggi tidak lagi ramah dan berpihak terhadap kepentingan anak-anak bangsa yang miskin, tidak berorientasi kepada kemanusiaan, keadilan dan kesetaraan apalagi kesejahteraan komunal.

Perguruan tinggi telah berwatak kapitalisme menjadi alat produksi yang dikuasai kaum Borjuis yang mengeksploitasi fitur-fitur dan simbol budaya akademik kaum proreletar yang papa dan fakir menjadi semacam pasar industri. Kecenderungan perguruan tinggi tidak lagi memproduksi pikiran kritis dan ide-ide besar, tetapi lebih pada menyiapkan mahasiswa menjadi robot-robot yang terhubung secara mekanis untuk memenuhi kebutuhan pasar kapitalis yang konsumeris dan materialistik.

Watak kapitalisme di Kampus tidak hanya tercermin pada praktek komersialisasi pendidikan, di mana hampir semua komponen pembiayaan pendidikan naik mengikuti rate dan standar harga-harga komoditas ekonomi di pasar dunia dan nasional. Akibatnya mahasiswa sebagai subyek pendidikan yang berasal dari rata-rata keluarga proletar semakin menjerit tersudut.

Mirisnya lagi, perguruan tinggi malah menjadi produsen yang menghasilkan lebih banyak kaum elite Borjuis baru. Manusia seby Homo academicus (meminjam istilah Pierre Bourdieu) tidak lagi menjadi produsen gagasan produktif untuk pembelaan terhadap sejumlah alienasi dan marginalisasi, tetapi hanya sekadar menjadi peternak bidak korporasi atau kekuasaan.

Harusnya terminologi universitas yang diadopsi dari bahasa latin “universitas magistrorum et scholarium”, yang merujuk kepada komunitas intelektual guru dan akademisi yang terdidik. Harusnya menjadi tempatnya para akademisi menguji gagasan, mengembangkan pengetahuan, menemukan nilai-nilai baru, menguatkan nalar kritis, dan menjadi benteng nilai dan lahirnya tunas-tunas intelektual baru selanjutnya.

Perguruan tinggi/universitas saat ini tengah berada dalam situasi kompetisi dengan sesamanya. Ketatnya rivalitas dan sengitnya berebut pasar membuat perguruan tinggi menjadi oportunis dan transaksional. Apa yang paling dicari adalah sensasi, representasi, popularitas, dan posisi "teratas dan terkenal".

Ukuran kesuksesan seorang dosen pun ikut bergeser dari yang substansi yakni kontribusi nyata kepada kemanusiaan, kesejahteraan, dan pencarian solusi akademik bagi yang tertindas berubah menjadi artifisial yakni banyaknya publikasi jurnal bukan aksi nyata membela ketidakadilan dan kemanusiaan.

Perguruan tinggi harus nya dikembalikan tempatnya sebagai rumah produktif para intelektual berkreasi, tumbuh dan mengembangkan kreatifitas ilmu pengetahuan. Sejarah universitas adalah sejarah bersemainya para pemikir besar, bukan tempat pembusukan akal sehat!

Lalu bagaimana kehidupan para intelektual berjubah akademisi yang berada di kurang lebih 4000 perguruan tinggi di Indonesia? Mungkin pendapat Fleming tentang kematian universitas terlalu banal untuk dikunyah, maka setidaknya bisa dikatakan bahwa universitas sudah roboh karena ulahnya sendiri yang terlalu formalistik. Hiruk pikuk dan lalu lintas akademik yang padat di internal nyatanya tidak berdampak terhadap macetnya arus transformasi sosial. Literasi politik publik masih rendah, pragmatis politik tidak kunjung usai dan kecerdasan publik tidak meningkat tanda kontribusi perguruan tinggi meredup. Kita tidak ingin kampus jadi sekedar pabrik para sarjana dan penyumbang pengangguran intelektual.

Para akademisi sekarang tidak lagi sedang berdiri di menara gading pengetahuan dan keilmuan, tetapi sedang meratapi nasib di bawah puing-puing kehancuran. Dulu disebut di menara gading karena para akademisi hanya sibuk dengan konsep dan teori lalu jauh dari realitas masyarakat.

Kondisi sekarang, pondasi menara gading itu sudah runtuh dan para akademisi tersebut sedang berjejalan di bawah reruntuhan. Dulu dikritik karena jauh dari realitas sosial masyarakat, sekarang dianggap penyakit karena laku buruknya dalam menyelesaikan persoalan praktis di masyarakat.

Para akademisi lebih menggugu pada kekuasaan dibanding ilmu pengetahuan. Sibuk menyiapkan titel-titel akademik dan menghamba untuk mendapatkan H-Indeks sitasi demi gelar akademik tertinggi. Nahasnya, titel akademik itu tidak diiringi dengan produksi ide dan kemajuan pengetahuan, tetapi hanya dan untuk mendekat pada ruang kekuasaan.Sampai-sampai ada yang menjadi bunglon dengan mengubah warnanya agar harmonis dengan penguasa.

Tidak sedikit juga para akademisi yang menyandang gelar guru besar (dengan pelbagai cara!), tetapi tidak (atau mungkin sedikit?) pernah punya konsep-konsep besar. Masyarakat umum tertawan dengan deretan gelar di depan dan di belakang namanya, tetapi tertawa dengan isi kepala mereka. Siapa yang peduli dengan kematian universitas? Toh, para akademisi dan kita semua mungkin saja sebagai tersangka utama pembunuhan itu. Tragis.

Mutasi akademisi

Tidak hanya virus, pemaknaan “menjadi akademisi” juga sedang bermutasi. Dulunya akademisi disebut sebagai kaum intelektual yang selalu punya dedikasi tinggi terhadap pengetahuan dan selalu memproduksi ide-ide besar.

Sekarang kebanyakan akademisi hanya berperan sebagai pemain cadangan yang menunggu panggilan kekuasaan. Jika panggilan kekuasaan itu tak kunjung datang, maka mereka beratraksi sambil berharap dilirik lingkar kekuasaan.Ujung-ujungnya sama, membangun relasi kuasa. Intelektual semacam ini dalam bahasa Antonio Gramsci dalam ‘Prison Notebooks’-nya disebut sebagai intelektual tradisional.

Intelektual tradisional menurut Gramsci adalah corong kehendak penguasa. Kenyataan pahit ini terus berlanjut dengan bertambahnya jumlah para akademisi, titel akademiknya semakin panjang, tetapi hanya sebatas itu. Tidak banyak yang membanggakan. Akibatnya, mahasiswa sebagai calon intelektual selanjutnya menjadi terdisrupsi. Akademisi yang mendidiknya hanya sebatas menjalankan ritus-ritus rutinitasnya dengan mengajar, tetapi tidak membentuk identitas intelektual mahasiswa didiknya.

Faktor apa yang menyebabkan kebanyakan akademisi bermutasi? Diakui atau tidak, kekuasaan ternyata ikut berkontribusi untuk mematikan akademisi dengan privilese kebebasan yang dimilikinya. Ruang kebebasan akademik hanya wacana-wacana lusuh yang menopang demokrasi tetapi mati di tangan para tiran. Kampus merdeka bisa saja hanya menjadi jargon artifisial tanpa makna.

Siapapun boleh berkata apapun, bebas, aman, dan dijamin undang-undang, tapi jangan sampai terdengar suaranya. Suarakan saja kebebasan itu di dalam kebisuan, karena kalau kebebasan itu terdengah lirih, maka jeratan hukum siap menanti. Belum lagi counterattack dari jemari para buzzer oligarki di media sosial yang siap menguliti para akademisi yang lantang bersuara. Lalu pada akhirnya universitas sudah berubah menjadi perpanjangan tangan para oligarki dan para pimpinannya malah berubah menjadi diktator bermerek in”telek”tual.

Bukan tidak mungkin, kematian universitas dan pembungkaman ruang kebebasan akademik justru dilakukan oleh para akademisi itu sendiri. Motifnya bisa bervariasi, mempertahankan status quo sebagai penguasa kampus atau hanya karena berbeda pandangan.Bahkan ada beberapa akademisi yang juga berprofesi menjadi para pendenggung (buzzer). Otak cemerlangnya dipakai hanya untuk jadi juru bicara kekuasaan dan mendekonstruksi kebenaran sesuai dengan versinya.

Tujuannya jelas, memanjakan kuping relasi kuasanya. Kekuasaan itu selalu menarik. Jarang orang tidak tergoda atau setidaknya berselera untuk menjadi penguasa. Sekelam itukah keadaannya? Saya sedang tidak membangun cerita-cerita distopia (imajinasi ketakutan). Fenomena ini nyata. Hanya saja kita bisa perdebatkan tentang berapa banyaknya fenomena mutasi akademisi ini terjadi.

Apakah mutasi akademisi dan keruntuhan universitas ini hanya menyasar pada kelompok akademisi di universitas negeri saja? Ternyata tidak juga. Akademisi di universitas swasta pun juga dipaksa mengubah dirinya hanya sekadar untuk bertahan hidup dari tangan-tangan oligarki.

Kematian universitas dalam istilah Fleming mungkin bisa ditangkas dengan memunculkan kembali ruang kebebasan akademik. Hanya dengan kebebasanlah para intelektual organik kembali bersemi. Intelektual organik dalam istilah Gramsci merupakan para intelektual yang bisa membangkitkan kesadaran perlawanan dengan basis pengetahuan yang dimilikinya.

Tidak usah fobia dengan kata perlawanan! Perlawanan disini tidak hanya dalam konteks kontestasi politik kekuasaan saja, tetapi jauh lebih umum, yaitu perlawanan terhadap penyakit-penyakit sosial kemasyarakatan.Intelektual akademik yang seperti itulah yang sedang dibutuhkan agar keluar dari labirin permasalahan bangsa ini.

Jika asumsi Fleming benar dengan menyatakan bahwa universitas sudah mati, maka cukup berat tugas akademisi intelektual organik yang masih tersisa. Melakukan reformasi atau lebih ekstremnya melakukan revolusi sistem di universitas.

Saya tidak sedang bercarut-carut menghujat “segelintir” akademisi dan kaum intelektual. Saya hanya sedang berefleksi dan melakukan autokritik. Anggap saja tulisan ini jeritan bisu yang tertuliskan oleh “intelektual tradisional” seperti saya. Saya dan para akademisi lainnya bisa saja sudah tidak lagi menjalankan khittah intelektualitas.

Mungkin juga sudah menghamba pada unsur-unsur di luar ilmu pengetahuan atau bahkan tidak tertutup kemungkinan libido kekuasaan. Kita semua tidak sempurna tetapi berani bersuara kritis dan menjaga jarak dengan kekuasaan demi idealisme juga perlu. Realitas mengerikan ini perlu diucapkan sebagai alarm tanda bahaya. Agar kampus sebagai rumah peradaban dan benteng nilai tidak tergadaikan oleh lezatnya kekuasaan. Fleming bahkan mengatakan bahwa pimpinan perguruan tinggi ada yang posisinya di hadapan kekuasaan lebih tinggi dan lebih dekat dari seorang ketua partai politik. Menggenaskan.

Opini diatas dikutip di Media lombokpost.jawapos.com

(Surya Ghempar, Red).

Continue reading...

Burhanudin : Caleg Share Amplo Atau Membagi Justice


Opini Publik. Media Dinamika Global. Id.-Salah Satu Aktivis di Salah satu Perguruan Tinggi yang Bergelut di Bidang Organisa ini menjelaskan tentang Bagaimana Pandangannya terkait dengan maraknya Para Legislator dibentuk untuk kemaslahatan publik oleh karena itu dia harus mendesain konsepnya berdasarkan latar belakang geneologi dari hak dia mendapatkan kursi parlemetariat. Rabu,24 Januari 2024

Dalam Penuturannya menjelaskan Makna, Konsep, dan Strategi Politik dengan Korelasi dan Dinamikanya saat ini. Beliau menjelaskan bahwa Politik artinya identik dengan soal membaca Sosio psikologi dalam dinamika sosial karena itu dituntut untuk membagi keadilan bukan menebar amplop yang tebal dan kita ingin uji ide seorang pemimpin melalui epistemologi dalam soal paradigmatik.

Menurut Montesque seorang penulis dan ilmuan dia menyatakan bahwa tri politik di bagi menjadi tiga elemen, pertama Eksekutif kedua legislatif ketiga yudikatif jadi, dia memformulasikan ide ini demi untuk membahagiakan publik demikian juga fungsinya mendesain keadaan publik dengan metode kebijaksanaan berdasarkan hak primer warga negara.

Caleg itu musti punya pengetahuan lengkap, kenapa begitu ! Menjadi seorang politisi dia di delegasi bukan hanya saja menampung aspirasi kendati dia juga harus memiliki fungsi primer intelektual sebagai asuhan keadilan politik.

Kepekaan sosial itu yang musti di pupuk secara continue oleh seorang politisi, kepekaan terhadap keadaan sosial yang berbasis pada kesenjangan, bukan kepekaan terhadap amplop dan sistem feodal.

Jadi, menjadi seseorang yang berguna diparlemen harus menghasilkan kecerdasan konstitusi di depan para konstituennya apalagi dituanmu rakyat, public Education itu penting sekali demi menjaga kestabilan politik antara historis dan bayangan masa depan.(***)

Continue reading...

Menanti Presiden Terpilih, Siapa Unggul dan Takluk. Membaca Peluang Indonesia jadi Negara Maju 2045

Foto : Dr. Alfisahrin, M.Si

Opini Dr. Alfisahrin, M.Si

Mataram-NTB, Media Dinamika Global.Id._ Tidak lama lagi bangsa Indonesia akan mengadakan perhelatan akbar yakni pemilu serentak untuk memilih anggota legislatif, Kepala Daerah dan Presiden. Ada 17 partai politik menjadi peserta pemilu 2024 dan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum.  Merupakan sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden, dan wakil presiden yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Bangsa dan rakyat Indonesia telah menyelenggarakan pemilu kurang lebh 12 kali sejak pemilu pertama tahun 1955. 

Pertanyaan filosofis dan kritis publik wajib diajukan di tengah sengitnya pertarungan politik ketiga Paslon presiden. Sudahkah dari  pemilu ke pemilu selama ini terselenggara dengan jujur, akuntabel dan kredible tanpa manipulasi, kecurangan dan konspirasi. Skandal pemilu di negara kita bukan cerita kosong tapi nyata adanya. Penggelembungan suara, data ganda dan penyelenggara tidak netral setiap pemilu marak terdengar di seantaro negeri. Tapi sudahlah itu satu soal lain  dan menjadi tanggungjawab kita untuk terus konsisten mengawasi jalanya pemilu. Tapi jujur saya bertanya, apa benar pemilu memberikan perubahan nyata bagi kesejahteraan dan kemakmuran bangsa. Takutnya biaya, logistik, sosialisasi, kampanye pemilu yang menyedot anggaran negara yang besar hanya menjadi ornamen, fasilitas, dan   aksesoris demokrasi prosedural bukan orkestrasi memajukan kesejahteraan umum publik melalui pemilu. 

Satu hal yang saya catat dan amati bahwa pemilu hanya melahirkan kelas politik, ekonomi dan penguasa baru. Karena yang tampak dan nyata berubah dari ekses pemilu hanya nasib peserta pemilu yakni oknum ketua partai, anggota DPR dan bupati_ walikota  yang makin lebih kaya, lebih sejahtera, lebih Hedon dan berkelas bukan rakyat yang memilih dan mereka jual nama dan kemalangan nasib mereka di setiap pemilu.

Kalau benar. Pemilu dapat mengubah nasib publik. Adakah perubahan konkrit yang terjadi dari pemilu . apa saja yang telah dicapai dari hasil pemilu, kebijakan strategis apa dan sejauhmana gagasan-gagasan bombastis para calon presiden, anggota DPR dan DPD di tingkat pusat hingga daerah yang dijanjikan dalam pemilu terimplementasi dan ukuran-ukurannya tercapai dan dirasakan langsung oleh masyaraka di lapisan akar rumput grass root.

Pemilu dalam sebuah negara demokrasi merupakan proses fundamental untuk menggilirkan kekuasaan agar terpilih pemimpin baru yang memiliki legitimasi kuat, visioner, progresif dan transformatif. Sirkulasi elite yang berjalan baik melalui mekanisme pemilu selain mematangkan demokrasi juga memapankan posisi politik publik untuk berpartisipasi ikut aktif mengontrol jalannya kekuasaan negara. 

Oleh karena itu, Pemilu tidak boleh dipandang remeh sekedar sebagai penggugur kewajiban warga negara dan  ritus demokrasi biasa  melainkan paradigmanya harus digeser sebagai sebuah proses istimewa yang krusial untuk  menentukan arah dan laju orbit kemajuan bangsa. Pemimpin yang terpilih nantinya  terutama presiden dalam pemilu, sejak 100 hari dilantik nantinya harus memiliki target-target konkrit yang indikator dan instrumen keberhasilan kebijakannya dapat diukur luas publik.

Presiden baru harus memiliki kapasitas untuk memformulasi rumusan kebijakan yang lebih strategis dan efisien dari presiden sebelumnya. Kebijakan yang presisi lebih dibutuhkan dibandingkan dengan gagasan dan ide-ide retoris untuk  untuk enyahkan segala  persoalan pelik bangsa. Mulai dari pertumbuhan ekonomi yang melambat 10 tahun terakhir, pengelolaan birokrasi buruk, angka pengangguran tinggi, korupsi yang menggurita, supremasi hukum yang kacau, separatisme kronis di Papua, penguasaan iptek rendah, mutu Pendidikan yang rendah, kemiskinan akut di kalangan petani, nelayan dan buruh. 

Presiden baru nantinya harus punya jawaban taktis dan solusi praktis untuk mengatasi akumulasi masalah di atas yang terkesan dipeti es kan dari sejak presiden era orde lama, orde baru hingga orde reformasi gagal diselesaikan.

Publik rindu ingin melihat Indonesia benar-benar menjadi negara maju dan kuat di Asia, kita malu membandingkan Indonesia dengan negara-negara kecil seperti tetangga Singapura, Malaysia, Thailand, Phlipina yang maju di hampir semua bidang seperti ekonomi, pendidikan, teknologi penegakan hukum, dan memiliki daya saing global. Pemilu sebagai mekanisme penggantian kekuasaan konstitusional dan presiden baru yang terpilih sebagai outcome dari proses politik dan demokrasi harus memberikan keyakinan bahwa pergantian rezim adalah momentum penentuan arah  baru perubahan dan kemajuan bangsa. 

Oleh karena itu, presiden baru nanti yang  terpilih. Apakah dari paslon nomor 1, 2 dan 3. Mengutip Acemoglu dan Robinson harus memiliki jawaban, setidaknya dugaan, terhadap pertanyaan ini: “Mengapa terdapat negara yang makmur dan negara yang miskin? Apa yang menyebabkan sebuah negara dapat keluar dari kubangan kemiskinan dan yang lain masih terperangkap dalam lumpur kemiskinan.

Jawaban bagi pertanyaan di atas merupakan entry point bahkan mukjizat yang selalu dicari oleh ilmuwan sosial baik ekonom, sosiolog, maupun ilmuwan politik. Setidaknya terdapat empat argumen dominan yang dapat menjelaskan pertanyaan di atas. Yang pertama adalah argumen geografi. 

Menurut argumen ini, bahwa perbedaan besar antara negara kaya dan miskin diciptakan oleh perbedaan geografis. Argumen ini pertama kali dicetuskan oleh filsuf Perancis Montesquieu yang menyatakan bahwa orang-orang di iklim tropis cenderung malas dan kurang memiliki rasa ingin tahu. mereka tidak bekerja keras dan tidak inovatif, dan ini adalah alasan mengapa mereka miskin. Tak hanya sampai disitu, Montesquieu mencoba menjelaskan fenomena institusi politik dengan melihat faktor geografis dengan menyatakan orang yang malas cenderung dikuasai oleh para penguasa otoriter. 

Tidak heran demokrasi susah bertumbuh kembang di daerah tropis. Varian termutakhir dari teori ini dicetuskan oleh Jared Diamond. Argument modern dari hipotesa geografi mengatakan bahwa penyakit tropis, khususnya malaria, memiliki konsekuensi yang sangat merugikan bagi kesehatan dan karena itu menurunkan produktivitas tenaga kerja. Tak heran bila tempat-tempat yang beriklim sejuk memiliki keuntungan relatif atas daerah-daerah tropis. Selain argumen geografi, argumen budaya juga menjadi salah satu jawaban dominan bagi pertanyaan besar di atas. Secara umum argumen budaya menyatakan bahwa atribut budaya tertentu seperti etika, halangan budaya, dan agama menjadi faktor penyebab bagi kurang produktifnya sebuah masyarakat. 

Salah satu pencetus argumen ini adalah Max Weber. Max Weber dalam bukunya Protestant Ethics and the Spirit of Capitalism menyatakan bahwa etika protestan adalah salah satu faktor terpenting bagi munculnya kapitalisme.

Selain faktor budaya, salah satu argumen dominan dalam menjelaskan ketimpangan kemakmuran adalah argumen “ignorance” dimana ketidaksetaraan dunia di sebabkan oleh ketidakmampuan para pemimpin untuk membuat negara-negara miskin menjadi kaya. 

Argumen ini menyatakan bahwa negara-negara miskin menjadi miskin karena mereka memiliki banyak kegagalan dalam mengatur negara mereka. Dengan kata lain, negara-negara kaya menjadi kaya karena mereka dianugerahi pemimpin yang tahu menyelesaikan masalah sedangkan negara-negara miskin tetap miskin karena mereka dipimpin oleh orang-orang yang tidak tahu cara menyelesaikan masalah. Meskipun argumen-argumen di atas dapat memberikan eksplanasi terhadap ketimpangan kesejahteraan, namun keseluruhan argumen di atas memiliki cela dalam argumennya. Argumen geografi tidak mampu menjelaskan mengapa Singapura yang berada di ilklim tropis lebih makmur ketimbang Kazakhstan yang berada di iklim sejuk. 

Argumen budaya juga tidak mampu menjelaskan mengapa dua Korea (Korea Selatan dan Korea Utara) yang memiliki budaya yang sama memiliki kondisi kemakmuran yang jauh berbeda. Begitu juga argument ignorance yang sangat terpaku terhadap analisa individual pemimpin masing-masing negara.

Acemoglu dan Robinson menyatakan alasan sebenarnya di balik perangkap kemiskinan terletak pada peran lembaga-lembaga politik dan ekonomi. Secara sederhana, Acemoglu dan Robinson membagi institusi politik dan institusi ekonomi ke dalam dua bentuk: (1) institusi politik dan ekonomi yang inklusif dan (2) institusi politik dan ekonomi yang ekstraktif. Mereka berpendapat bahwa hanya dalam suatu sistem politik yang inklusif adalah mungkin bagi negara-negara untuk mencapai kemakmuran. Negara dengan institusi-institusi politik dan ekonomi ekstraktif cenderung miskin, sedangkan negara-negara dengan institusi politik dan ekonomi yang inklusif cenderung kaya.

Institusi politik yang inklusif didefinisikan sebagai sebuah institusi yang tidak hanya menguntungkan segelintir elit yang berkuasa namun sebuah institusi yang dimana masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam proses politik. Dengan kata lain, institusi politik yang dapat menciptakan kemakmuran adalah institusi politik yang bersifat plural. Tidak hanya akses politik yang mudah, institusi politik yang inklusif ditandai dengan adanya batasan terhadap elite penguasa melalui mekanisme checks and balances, serta adanya rule of law yang melindungi segenap warga negara. Institusi politik yang inklusif, menurut Acemoglu dan Robinson akan menciptakan institusi ekonomi yang inklusif pula.

Institusi ekonomi yang inklusif ini ditandai dengan adanya jaminan akan hak milik dan patent, kemudahan berusaha dan akses terhadap pasar yang terbuka serta adanya dukungan negara untuk memberikan akses yang mudah terhadap pendidikan dan kesempatan yang sama bagi semua warga negara untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi.

Dengan kata lain, politik dan bagaimana elit penguasa mengorganisir institusi politik dan ekonomi adalah hal yang utama dalam menentukan apakah sebuah bangsa menjadi lebih makmur atau tidak. Skenario sebaliknya akan terjadi dalam institusi politik ekstraktif di mana kekayaan akan diakumulasikan hanya untuk elit penguasa yang kecil.  

Institusi politik yang ekstraktif ditandai dengan terkonsentrasinya kekuasaan politik di tangan segelintir orang tanpa adanya checks and balances, serta lemahnya rule of law. Institusi politik ekstraktif akan menghadirkan institusi ekonomi yang ekstraktif pula dimana segala sumber daya yang ada digunakan untuk kepentingan elit penguasa. Institusi ekonomi yang ekstraktif ditandai dengan lemahnya proteksi terhadap hak milik, adanya entry barrier terhadap aktor pasar yang menciptakan level of playing field berbeda bagi setiap aktor, serta adanya hambatan yang mencegah fungsi pasar berjalan dengan sempurna.

Untuk mendukung argumen mereka, Acemoglu dan Robinson menyuguhkan berbagai macam ilustrasi dari sejarah berbagai macam bangsa-bangsa di dunia. Mereka mencontohkan kolonialisasi Eropa atas Amerika Utara dan Amerika Latin yang menghasilkan dua trajektori kemakmuran yang berbeda. Amerika Utara lebih makmur ketimbang Amerika Selatan. Jawaban dari ketimpangan ini adalah institusi yang dibangun oleh para pendatang Eropa di benua Amerika. Tatkala para penakluk Spanyol membangun koloni di Amerika Latin, mereka membangun institusi politik yang ekstraktif dimana para elit penakluk Spanyol berada pada posisi penguasa dan para penduduk pribumi sebagai budak yang melayani kelas penguasa. Institusi ekonomi yang dibangun pun adalah institusi yang ekstraktif dimana sumber daya alam digunakan untuk kepentingan elit penguasa. 

Hal ini berbeda dengan institusi yang dibangun di Amerika Utara yang lebih inklusif akibat ketidakmampuan orang Eropa untuk menundukkan kaum Indian di Amerika Utara dan sedikitnya sumber daya alam yang ditemukan di wilayah tersebut.

Bila institusi politik dan ekonomi yang inklusif dapat menciptakan kemakmuran, mengapa hanya sedikit bangsa yang memilih membangun institusi ini? Menurut Acemoglu dan Robinson, perubahan institusi dari yang bersifat ekstraktif menuju inklusif merupakan sebuah proses perubahan kecil yang terus menerus dan bersifat endegenous. Inggris merupakan contoh nyata bagaimana sebuah bangsa mampu melakukan pergeseran institusi dari ekstraktif menuju inklusif yang diawali dengan keinginan masyarakat akan proteksi hak milik yang lebih dan partisipasi politik.

Munculnya Magna Charta yang mengikat Raja untuk tidak sewenang-wenang terhadap para tuan tanah di bawahnya serta Glorious Revolution dimana peran raja tidak lagi absolut yang ditandai dengan kuatnya peran parlemen adalah institutional drift atau pergeseran institusi yang membuat Inggris memiliki institusi yang inklusif.

Institutional drift tentu tidak disukai oleh elite penguasa karena institusi yang inklusif selalu menghasilkan apa yang disebut “creative destruction”.

kata lain dari competition yang memungkinkan adanya mekanisme distribusi kekayaan serta yang paling penting distribusi kekuasaan di masyarakat. Inilah alasan mengapa Inggris dan bukan bangsa lain yang memulai revolusi industri yang membawa dunia menuju peradaban modern. 

Lantas bagaimana sebuah bangsa mampu keluar dari institusi politik dan ekonomi yang ekstraktif menuju institusi politik dan ekonomi yang inklusif? Untuk menjawab pertanyaan ini,  banyak ahli  percaya bahwa peristiwa-peristiwa sejarah  yang bersifat acak dapat berguna dalam memahami hasil saat ini. Mereka menyebut peristiwa acak ini sebagai critical juncture atau titik-titik kritis sejarah yang mampu mengeksploitasi perbedaan institusi yang kecil menjadi sebuah perbedaan besar. Critical juncture inilah yang menentukan apakah sebuah bangsa mengambil jalur menuju institusi yang inklusif atau menuju pada institusi yang ekstraktif. 

Critical juncture ini merupakan variable di dalam sejarah yang tidak dapat diprediksi.

Salah satu contoh critical juncture dalam sejarah peradaban China adalah tatkala Kaisar China melarang seluruh rakyatnya untuk berlayar untuk melakukan perdagangan. Pelayaran oleh Laksamana Zeng He merupakan pelayaran terakhir yang diperbolehkan oleh Kaisar Cina. Setelah itu, Hongwu, Kaisar era Ming mengeksekusi siapa saja yang mencoba melakukan pelayaran perdagangan. Hal ini disebabkan karena Kaisar China takut akan karaktercreative destruction dari perdagangan internasional yang akan berpotensi mendestabilisasi sistem kekaisaran dengan munculnya kelas baru bernama pedagang yang semakin kaya. 

Hal yang sama terjadi di kekaisaran Utsmani yang melarang masuknya mesin cetak pada abad ke-15. Padahal melalui mesin cetak, Eropa telah menikmati masifnya peredaran teknologi dengan adanya mesin cetak. Namun, Kekaisaran Utsmani baru membolehkan mesin cetak untuk masuk ke wilayahnya 300 tahun setelah Eropa mengambil manfaat dari teknologi baru tersebut. Alasan Sultan untuk tidak menerima mesin cetak karena ketakutan akan creative destruction yang dihasilkan oleh teknologi baru ini yang juga dapat mendestabilisasi otoritas sultan.

Kepemimpinan masa depan Indonesia saya kira tidak lagi hanya mengandalakan modal popularitas belaka tetapi harus ditopang oleh kapasitas raksasa yang besar untuk menjadi kekuatan pengungkit (leverange) yang mengangkat dan menarik lokomotif besar bangsa dengan sejumlah maslah utamanya. 

Kelemahan besar kita selama ini selalu gegabah(reckless), buru-buru dan cepat memilih pemimpin nasional dan regional hanya karena simbol-simbol kultural dan artifsial yang dangkal seperti pandai bicara, merakyat, sederhana tetapi mengabaikan kemampuan, kapasitas, kompetensi, kejujuran, amanah dan keahliannya dalam mengelola otoritas kekuasaan yang diberikan. Kita butuh pemimpin yang kompleks dan komplit memiliki integritas keilmuan tinggi baik konsep dan praksis. Sehinga menjadi modal kepemimpinan, kapasitasnya itu diperlukan agar adaptif menggunakan metode, teori dan pendekatan ilmu-ilmu kepemimpinan baru yang lebih modern, inovatif  dan mutakhir.  Dunia global yang terus berubah menghadirkan banyak sekali implikasi dan tantangan baru kepemimpinan seperti digitalisasi birokrasi, e.commerce, artifisial intelegence, internet of thing, digital investment, crypto currency dan blockchain. Adalah realitas dunia bangsa modern yang memerlukan adaptasi dan penguasaan dari presiden baru kita.

Filosofi penting dari uraian ini, yakni  memberikan sebuah pelajaran penting bagi para pengambil kebijakan tentang pentingnya sebuah institusi politik serta ekonomi yang inklusif( terbuka) dan kreatif untuk menciptakan akumulasi kekayaan yang terdistribusi dengan baik ke seluruh masyarakat.

Penulis : Dr. Alfisahrin, M.Si

Editor : Surya Ghempar

Continue reading...

Aldi Siagian "Partai Politik Dalam Keberlangsungan Demokrasi"

Opini  "Aldi Siagian"

Mataram-NTB, Media Dinamika Global.Id.- Indonesia merupakan salah satu negara yang menganut sistem demokrasi. Dalam sebua negara yang menganut sistem demokrasi, hak-hak termasuk berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat atau pikiran, merupakan bagian penting yang harus dilindungi serta dipenuhi oleh negara.

Di Indonesia, hak berserikat, berkumpul, dan menyampaikan pendapat atau pikiran, di atur dalam Pasal 28E (3) UUD 1945 RI "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat".

Hak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, merupakan hak asasi manusia yang harus dilindungi guna memperkuat semangat kebangsaan dalam negara yang demokratis. Orientasi dari hak-hak tersebut, kemudian diwujudkan dalam bentuk pembentukan Partai Politik.

Secara garis besar, partai politik merupakan organisasi/lembaga/wadah nasional yang bentuk oleh sekelompok orang atau warga negara, atas kesamaan kehendak serta cita-cita yang sama, untuk memperjuangkan kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara.

Partai Politik memiliki peranan penting dan strategis dalam sebuah negara yang menganut sistem demokrasi. Selain sebagai organisasi/lembaga nasional yang menghubungkan komunikasi antar warga masyarakat dengan pemerintah, partai politik juga merupakan pilar demokrasi.

Peranan partai politik yang strategis ini, kemudian menjadikan parpol sebagai kunci institusi demokrasi perwakilan (representative democracy), baik dalam proses pembentukan, maupun dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.

Sebagai pilar demokrasi, partai politik dalam perkembangan suatu negara tentunya akan menentukan arah dari pada demokrasi. Semakin baik dan optimalnya peran partai politik, maka demokrasi juga akan berkualitas, begitupun sebaliknya.

Pada dasarnya, partai politik bertindak atas nama rakyat, namun faktanya berbanding terbalik, dimana tindakan parpol justru mengikuti kemauan serta kepentingan elit-elit politik.

Akibatnya, atas fakta itu, konflik-konflik internal partai politik pun tidak dapat terelakan, sehingga tidak mengherankan, perebutan kekuasaan, pemecatan anggota secara sepihak, pembekuan kepengurusan, dll, terjadi di internal partai politik.

Jika demikian, lalu bagaimana eksistensi partai politik sebagai pilar demokrasi?

Keberadaan partai politik sebagai pilar demokrasi pada dasarnya diharapkan dapat menjadi salah satu sarana/instrumen politik bagi warga masyarakat.

Dalam Pasal 15 (1) UU/2/2011 Tentang Partai Politik menjelaskan bahwa, "anggota adalah pemegang kedaulatan dalam partai". Namun seperti penjelasan sebelumnya, bahwa dominasi elit-elit parpol lebih terlihat ketimbang anggota yang notabene sebagai pemegang kedaulatan partai, terutama dalam pengambilan keputusan. Fakta itu menjadikan partai politik tidak lagi menjadi sarana politik yang sehat bagi warga negara.

Ditambah lagi, prosedur kaderisasi serta standar kuantitas juga kualitas dalam proses rekrutmen anggota parpol yang dipasang pada setiap kontestasi pemilu pun, bergantung pada siapa loyal dan manut. 

Ketidakjelasan prosedur tersebut, menjadikan kepercayaan publik terhadap kualitas calon-calon yang dipasang menurun. Bentuk-bentuk ketidakpercayaan tersebut adalah dengan acuh dan atau memilih untuk golput. Semakin banyak yang memilih untuk golput, menandakan bahwa ketidakmampuan parpol memberikan pendidikan politik yang sehat, menyebabkan merosotnya nilai demokrasi yang dibangun.

Penulis : Aldi Siagian, SH.,MH dan Menjabat sebagai Wakil Ketua III Bardam Nusa wilayah Bali Nusra.

Editor : Surya Ghempar.

Continue reading...

Ijauhal Farid : Siapa Yang Jadi Presiden RI Di Tahun 2024.?


Opini. Media Dinamika Global. Id.State Man n Jawaban dari IJAUHAL FARID H. ISMAIL Alias FARID NO FEAR.

PRABOWO n GIBRAN

Dengan alasan2 sbb:

I. Mf sblmnya, sy Farid No Fear tdk berpihak ke salah satu paslon, bkn juga pendukung PRABOWO-GIBRAN, namun terpilihnya PRABOWO-GIBRAN tentu ada alasan intelektualnya,bkn alasan emosional,bkn alasan ke Arifan lokal. Namun ini adalah ke Arifan diri sy pribadi yg mumpuni,ke Arifan yg Hebat,yg berprestasi n sudah terbukti beberapa periode dlm kontesta pemilu, yg merangkul bkn juga alasan primordial. Semunya bukan.

Inilah alasan sy pribadi mengapa PRABOWO-GIBRAN yg  bakal meminmpin negara RI di thn 2024.

1. Berdasarkan survey, dari 18 lembaga Survey yg ada melakukan research ada 14 lembaga survey yg menyatakan PRABOWO-GIBRAB lebih unggul dari kandidat lain n sisanya buat yg lain utk sementara, Nah inilah fakta ilmialnya, artinya state man sy pribadi PRABOWO-GIBRAN lah yg akan memenangkan dlm kontesta dipemilu thn 2024 nanti.

Kita jgn berpikir survey pesanan.

Ingar survey adalah indikator sebuah kebenaran sepanjang dijlnkan dgn baik n benar.

2. Nama PRABOWO udah teruji dlm pemilu beberapa thn yg lalu n suaranya nyaris mengalahkan bpk JOKOWI. Ini fakta digital yg tdk terluapakan.

Artinya 2x tampil sudah punya pengalaman yg mumpuni meski kalah.

Sbb lawan politiknya saat itu juga hebat2,tdk seperti lawan politiknya saat ini,menurut hemat penulis masih setarap tapi masih bisa dikalahkan, hal ini termasuk dlm tulisan sejarah politik pribadi saya.

3. Terbaik tentu satu putaran. ini harapan kandidat tentunya. Terburuk dua putaran, Nah., PRABOWO GIBRAN siapapun lawannya ttp mereka yg memenangkannya, kok bisa, iya bisa n inilah analisa terkuatnya.

Misal: PRABOWO-GIBRAN yg terpilih berhadapan dgn Anis-Muhaemin, sementra Ganjar Pranowo-Mahfud MD tersingkir. Kemanakah suara Ganjar-Mahfud,? Tentu ke PRABOWO-GIBRAN. Sbb bgmnpun partai pendukung Ganjar tdk pernah sejalan dgn partai pendukungnya Anis yg didlmnya ditopang oleh PKS antara air n minyak tdk pernah mau bersatu,krn filosofi,ideologi partai tdk pernah sejalan atau bertolak belakang.

PDIP ideologinya sangat beda dgn PKS. Hanya Nasdem n PKB yg mungkin tanda petik(?) sedikit kesamaan/mencair dgn PDIP. Selain itu GIBRAN punya kedekatan historis dgn PDIP sbg ibu kandung pastilah saudra2nya di PDIP merapat suaranya ke ibu sambungnya GIBRAN di Golkar.

Misalnya lagi: terpilih PRABOWO-GIBRAN vs Ganjar-Mahfud, yg tersingkir Anis, disini tim amin tersingkir pula. Lalu kemana suara Anis Muhaemin? Tentu ke PRABOWO-GIBRAN. Kok bisa? Ya., krn masih satu ideologi dgn partai pendukung. Misal: PKS,PKB masih punya kedekatan dgn PAN n PBB pendukung PRABOWO-GIBRAN skrg ini, sdg Nasdem masih bersaudara dgn Golkar, sbb mereka sama2 dibesarkan dulunya di Golkar. Sangat tdk mungkin suaranya Amin lari ke ganjar yg ldeologi politiknya bertolak belakang. Artinya apa: lagi2 PRABOWO-GIBRAN diuntungkan.

4. Alasan lainya yg patut diuntungkan adalah suara pro jokowi tentunya akan mendukung PRABOWO-GIBRAN. Ingat saat ini jokowi masih berkuasa atas negara RI ini, tentu suara pendukungnya masih sangat kuat hal ini lagi2 mengutungkan PRABOWO-GIBRAN.

Jateng selama ini yg didominasi PDIP, bakal remuk suaranya krn projokowi tadi suaranya yg ke GIBRAN. Jateng adalah kantong suara. Secara inplisit, jokowi meski masih berkuasa pastilah org2 moncong putih lebih memilih anaknya GIBRAN ke Timbang Ganjar.

Sedangkan alasan klienik lain (anggap saja irrasional), tapi Insya Allah bisa terbukti. Yakni dgn adanya ramalan Gusdur, seorg waliyullah yg menyatakan prabowo akan menjadi presiden di usia yg sudah tua. Dari sekian banyak ramalan Gusdur, hanya yg satu ini blm terbukti n yg lainya sudah terbukti semua. Krn dgn demikian lawan politiknya pasti gentar gentir.

Sembah sujud Utk Para Ortu,Para Guru,Alim Ulama n salam Persaudaraan n Persahabatan Utk Kita Semua.

From: IJAUHAL FARID BiN H. ISMAIL BIN H. JAFAR BIN BANI ABBAS ALIAS FARID NO FEAR (FARID TDK SEGAN)

Continue reading...