Kota Bima, Media Dinamika Global.id.// Pada kesempatan Pra-MIBA STIT Bima, Bang La Ndolo menyuguhkan pemaparan mengenai budaya Bima dalam perspektif sastra dan humaniora. Dalam pemaparannya, beliau terlebih dahulu menjelaskan dua dimensi awal sastra. Menurutnya, sastra tumbuh dan berkembang seiring dengan kehidupan manusia. Sekitar tahun 5000 SM, manusia mulai mengenal tulisan, yang sekaligus menandai lahirnya aksara. Selanjutnya, sekitar tahun 1500 M, manusia diperkenalkan dengan huruf Latin yang berkembang dalam peradaban Yunani dan kemudian menyebar luas ke berbagai belahan dunia.
Dalam konteks lokal, masyarakat Bima telah lama hidup berdampingan dengan sastra, terutama dalam bentuk tradisi lisan seperti kapatu mbojo, dongeng, dan cerita-cerita rakyat. Sastra tidak hanya lahir dari masyarakat Bima sendiri, tetapi juga direkam oleh orang-orang luar yang menceritakan berbagai peristiwa kebudayaan Bima. La Ndolo menuturkan bahwa dua tahun silam, dirinya didatangi oleh profesor dari UII dan BRIN yang secara khusus datang untuk menggali kapatu mbojo dan puisi-puisi dalam bahasa Bima. Hal ini menunjukkan bahwa sastra Bima memiliki nilai penting dan menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakatnya.
Secara historis, sastra tulis di Bima mulai berkembang pada abad ke-17 atau sekitar tahun 1600-an, seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di wilayah Bima. Sejak saat itu, sastra menjadi medium ekspresi budaya dan sarana penyebaran nilai-nilai keagamaan dan sosial.
Dari sudut pandang humaniora, La Ndolo menyoroti perubahan perilaku masyarakat Bima, khususnya di kalangan pemuda dan pemudi. Ia menilai bahwa generasi muda saat ini lebih dominan mengonsumsi budaya yang kurang mencerminkan nilai kesantunan, seperti penggunaan kata-kata kasar, misalnya "anjir", serta kecenderungan mengikuti tren tanpa refleksi kritis. Padahal, masyarakat Bima pada masa lalu dikenal dengan tutur kata yang santun dan beretika. Namun, di era digital, nilai-nilai tersebut perlahan diabaikan dan ditinggalkan.
Pada kesempatan Pra-MIBA STIT Bima, Bang La Ndolo menyuguhkan pemaparan mengenai budaya Bima dalam perspektif sastra dan humaniora. Dalam pemaparannya, beliau terlebih dahulu menjelaskan dua dimensi awal sastra. Menurutnya, sastra tumbuh dan berkembang seiring dengan kehidupan manusia. Sekitar tahun 5000 SM, manusia mulai mengenal tulisan, yang sekaligus menandai lahirnya aksara. Selanjutnya, sekitar tahun 1500 M, manusia diperkenalkan dengan huruf Latin yang berkembang dalam peradaban Yunani dan kemudian menyebar luas ke berbagai belahan dunia.
Dalam konteks lokal, masyarakat Bima telah lama hidup berdampingan dengan sastra, terutama dalam bentuk tradisi lisan seperti kapatu mbojo, dongeng, dan cerita-cerita rakyat. Sastra tidak hanya lahir dari masyarakat Bima sendiri, tetapi juga direkam oleh orang-orang luar yang menceritakan berbagai peristiwa kebudayaan Bima. La Ndolo menuturkan bahwa dua tahun silam, dirinya didatangi oleh profesor dari UII dan BRIN yang secara khusus datang untuk menggali kapatu mbojo dan puisi-puisi dalam bahasa Bima. Hal ini menunjukkan bahwa sastra Bima memiliki nilai penting dan menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakatnya.
Secara historis, sastra tulis di Bima mulai berkembang pada abad ke-17 atau sekitar tahun 1600-an, seiring dengan masuk dan berkembangnya Islam di wilayah Bima. Sejak saat itu, sastra menjadi medium ekspresi budaya dan sarana penyebaran nilai-nilai keagamaan dan sosial.
Dari sudut pandang humaniora, La Ndolo menyoroti perubahan perilaku masyarakat Bima, khususnya di kalangan pemuda dan pemudi. Ia menilai bahwa generasi muda saat ini lebih dominan mengonsumsi budaya yang kurang mencerminkan nilai kesantunan, seperti penggunaan kata-kata kasar, misalnya "anjir", serta kecenderungan mengikuti tren tanpa refleksi kritis. Padahal, masyarakat Bima pada masa lalu dikenal dengan tutur kata yang santun dan beretika. Namun, di era digital, nilai-nilai tersebut perlahan diabaikan dan ditinggalkan.
Dalam pernyataannya, La Ndolo menegaskan bahwa perubahan zaman merupakan keniscayaan, tetapi akar budaya, terutama kesantunan dalam bertutur harus tetap lestari dan hidup dalam ruang dan waktu apa pun. Ia kemudian mengaitkan hal ini dengan falsafah hidup masyarakat Bima, yakni maja labo dahu. Menurutnya, maja labo dahu selain dari pada relasi vertikal antara manusia dan Tuhan, ia juga sebagai laku hidup sosial di tengah masyarakat.
Ungkapan seperti maja kai ba ade eda mpoa dou ma karawi (malu rasanya melihat orang bekerja sementara kita tidak ikut bekerja) dan dahu kai weha ntau dou (takut mengambil milik orang lain) mencerminkan nilai moral yang kuat dalam kehidupan masyarakat Bima. Dari falsafah inilah lahir budaya karawi kaboju (gotong royong), cempe rima (saling membantu), dan kasama weki (kebersamaan), yang dahulu tumbuh dan mengakar kuat dalam kehidupan sosial masyarakat Bima.
Dalam praktik cempe rima, masyarakat Bima pada masa lalu tidak memerlukan uang untuk menggaji tenaga kerja. Sistem yang digunakan adalah saling tukar tenaga, yang dikenal dengan ungkapan bantu kali cempe angi (saling membantu sesama). Setelah satu pekerjaan di ladang selesai, mereka berpindah ke ladang orang lain yang sebelumnya ikut terlibat. Namun, seiring perkembangan zaman dan perubahan persepsi masyarakat, sistem ini mengalami transformasi. Upah tenaga yang dahulu berbasis solidaritas kini bergeser menjadi upah berbasis uang.
Lebih lanjut, La Ndolo menjelaskan bahwa masyarakat Bima sangat mengedepankan nilai kemanusiaan. Tradisi berbagi seperti wara si uta mbeca ma ncewi na bage di iwa ra weki na (jika ada kelebihan sayur, maka dibagikan kepada saudara dan tetangga), atau kebiasaan mengantar lauk-pauk seperti daging ayam, daging rusa, atau daging sapi kepada tetangga, merupakan bentuk nyata solidaritas sosial. Budaya ini perlahan terkikis oleh arus zaman, meskipun sebagian masyarakat Bima masih berupaya mempertahankannya.
Penulis menambahkan bahwa perkembangan dunia digital dan tren media sosial, termasuk fenomena FB-Pro, telah membawa sebagian masyarakat Bima pada perilaku yang cenderung amoral. Informasi hoaks menjadi konsumsi sehari-hari, fitnah antarsesama marak di berbagai akun media sosial, ujaran kebencian dan kata-kata kasar menjadi tontonan yang lumrah, bahkan telah dikonsumsi oleh anak-anak. Kondisi ini menunjukkan adanya degradasi nilai dalam ruang sosial digital.
Maka, refleksi terhadap masa lalu menjadi penting, sebab masa lalu adalah cermin untuk menata masa depan yang lebih baik. Tidak semua tren zaman membawa dampak positif. Oleh karena itu, sikap selektif dalam menyerap perubahan menjadi keharusan, mengambil nilai-nilai yang baik dan meninggalkan yang merusak. Hidup bukan semata tentang "apa kata orang", melainkan tentang "apa kata hati" yang berlandaskan nilai, etika, dan kebudayaan.(Sekjend MDG)
