Mediadinamikaglobal.com|Indonesia sedang berada dalam masa yang penuh gejolak. Ketika para elit politik—baik di pusat maupun daerah—lebih sibuk mengurus kepentingan kelompoknya daripada mendengarkan suara rakyat, maka demokrasi kehilangan maknanya. Rakyat yang seharusnya menjadi pusat dari setiap kebijakan, justru dikorbankan. Mereka dihadapkan pada tekanan ekonomi, ketidakpastian hukum, dan bahkan intimidasi dari aparat yang seharusnya melindungi, bukan menakut-nakuti.
Gelombang demonstrasi yang terjadi sejak Agustus 2025, dipicu oleh kebijakan tunjangan DPR yang dianggap tidak masuk akal, telah menelan korban jiwa⁽¹⁾. Mahasiswa, aktivis, dan masyarakat sipil bersatu menyuarakan 17+8 Tuntutan Rakyat, namun respons dari pemerintah dan parlemen masih jauh dari harapan⁽¹⁾. Bahkan, ruang demokrasi terasa semakin menyempit, dengan kritik yang dibalas propaganda dan represi⁽¹⁾⁽²⁾.
Pertanyaannya: sampai kapan Indonesia akan begini?
Tanda-tanda perlawanan sudah muncul.
Generasi muda, terutama Gen Z, mulai menunjukkan sikap kritis terhadap kekuasaan dan aktif menyuarakan aspirasi melalui media sosial⁽³⁾. Mahasiswa dari berbagai kampus menggelar aksi damai, doa bersama, dan pembacaan maklumat sebagai bentuk keprihatinan
Namun, perubahan tidak akan datang hanya dari satu arah. Diperlukan keberanian kolektif untuk menuntut akuntabilitas, transparansi, dan keadilan. Pemerintah harus berhenti melihat kritik sebagai ancaman, dan mulai melihatnya sebagai cermin untuk berbenah
Indonesia tidak akan berubah jika rakyatnya berhenti berharap dan berhenti bersuara.* Demokrasi bukan hanya soal pemilu, tapi soal partisipasi aktif setiap hari. Jika suara rakyat terus dibungkam, maka yang tersisa hanyalah kekuasaan tanpa legitimasi.
Lik/////