![]() |
Taufiqurrahman, S.H (Praktisi Hukum dan Aktivis Keadilan Sosial) dan 6 Aktivis diamankan di Polda NTB, (Ist/Surya Ghempar). |
Opini : Taufiqurrahman, S.H (Praktisi Hukum dan Aktivis Keadilan Sosial).
Bima, Media Dinamika Global.Id
Berangkat dari Dokumen resmi dari Kepolisian Resor Bima bertanggal 29 Mei 2025 mengungkapkan bahwa Enam orang Mahasiswa telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana kekerasan secara bersama-sama di muka umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 170 KUHP.
Dalam penetapan tersangka tersebut mencakup nama-nama seperti Muh. Yunus, Deden Dwi Yanto, Firdaus, Erwin Setiawan, dan Aditia serta M.Alfiansyah, yang merupakan mayoritas masih berstatus pelajar dan mahasiswa, dengan usia rata-rata di bawah 25 tahun.
Dalam dokumen tersebut, penetapan status tersangka tertanggal 29 Mei 2025, dan merujuk pada proses hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 109 Ayat (1) KUHAP dan peraturan perundang-undangan lainnya. Masa penahanan secara hukum, berdasarkan KUHAP, hanya dapat dilakukan maksimal 20 hari dan dapat diperpanjang 40 hari jika dibutuhkan untuk kepentingan penyidikan.
Dengan melihat tanggal penetapan tersebut, maka masa penahanan para tersangka akan mencapai batas maksimalnya pada tanggal 27 Juli 2025. Artinya, aparat penegak hukum Polres Bima berada dalam tenggat waktu krusial untuk menentukan nasib para tersangka, apakah segera dilimpahkan ke kejaksaan untuk disidangkan, atau dilepaskan demi hukum karena tidak cukup bukti untuk melanjutkan proses pidana.
Momen beberapa hari kedepannya sangat menentukan, tidak hanya bagi para tersangka dan keluarganya, tetapi juga bagi kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Jika memang bukti-bukti yang dimiliki oleh penyidik cukup kuat, maka logis bila berkas perkara segera dinyatakan lengkap (P-21) dan para tersangka diserahkan ke kejaksaan untuk menjalani proses persidangan. Namun, jika terdapat keraguan, atau jika proses pembuktian tidak meyakinkan, maka sudah seharusnya para tersangka dibebaskan sesuai asas "in dubio pro reo".
Kita akan melihat apakah Penegakan hukum yang berjalan sekarang memiliki dasar pembuktian yang kuat ? Atau Tidak ? maka Jika tidak kuat berpotensi melanggar hak asasi manusia, terutama ketika menyangkut anak muda yang tengah menempuh pendidikan dan belum pernah terlibat kasus pidana sebelumnya.
Sebaliknya, jika terbukti terjadi pelanggaran hukum, maka proses hukum harus tetap berjalan dengan tetap menjunjung asas keadilan, proporsionalitas, dan kemanusiaan.
Tanggal 27 Juli 2025 bukan hanya batas akhir masa penahanan, tetapi juga menjadi titik tolak untuk melihat arah keadilan yang akan ditempuh negara dalam perkara ini. Akankah para tersangka segera diadili ? Ataukah mereka akan dibebaskan demi hukum karena kekurangan bukti ? Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi cerminan dari kualitas sistem hukum kita dalam menjawab tantangan keadilan.
Kita semua menanti: akankah hukum ditegakkan dengan adil, atau sekadar menjadi formalitas prosedural yang menyingkirkan rasa keadilan itu sendiri ?.
Editor : MDG.