DPRD Dan Pemuda: Ngopi, Ngobrol, Bergerak Untuk Daerah - Media Dinamika Global

Selasa, 24 Juni 2025

DPRD Dan Pemuda: Ngopi, Ngobrol, Bergerak Untuk Daerah


Bima, NTB. Media Dinamika Globa.Id.-Di tengah tantangan pembangunan daerah yang semakin kompleks, kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat menjadi kunci utama untuk menjawab berbagai persoalan. Salah satu relasi penting yang sering kali luput diperhatikan adalah antara Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan pemuda. 

Padahal, pemuda bukan hanya generasi penerus, tetapi aktor sosial yang saat ini memiliki daya pikir, daya dorong, dan daya kritis yang kuat. Di sinilah ruang-ruang informal seperti “ngopi bareng” memiliki makna strategis yang lebih dalam daripada sekadar minum kopi dan ngobrol biasa.

*Ruang Informal, Isu yang Nyata*

“Ngopi” bagi sebagian besar anak muda bukan sekadar aktivitas mengisi waktu luang. Warung kopi, kafe, dan forum diskusi sederhana telah menjadi ruang alternatif tempat ide-ide besar lahir, kritik disampaikan, dan solidaritas sosial dibangun. Sayangnya, ruang-ruang seperti ini belum banyak disentuh oleh wakil rakyat. Banyak anggota DPRD terjebak dalam formalitas birokrasi dan agenda-agenda tertutup, sehingga kehilangan hubungan emosional dengan suara akar rumput, terutama suara pemuda.

Ketika anggota DPRD berani turun langsung dan “ngopi bareng” dengan pemuda di ruang-ruang terbuka, yang terjadi bukan sekadar dialog, tetapi pemulihan kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. Interaksi tanpa sekat membuka jalan bagi DPRD untuk memahami langsung keresahan masyarakat muda: dari isu pengangguran, pendidikan, digitalisasi desa, korupsi anggaran, hingga minimnya ruang kreativitas dan partisipasi publik.

Ngobrol Tanpa Sekat, Dengarkan Tanpa Syarat

Kekuatan utama dalam pertemuan informal seperti ini adalah kejujuran. Pemuda tidak terikat pada protokol, tidak tunduk pada kepentingan politik praktis, dan cenderung berbicara apa adanya. Ini merupakan peluang emas bagi DPRD untuk menyerap aspirasi secara jujur dan utuh. Dalam dunia politik yang sering diwarnai basa-basi dan janji kosong, ngobrol dengan pemuda justru bisa menjadi koreksi moral yang penting bagi para wakil rakyat.

Namun tentu saja, ruang ini harus dibangun dalam semangat kesetaraan. Ngopi bareng tidak boleh dimaknai sebagai pencitraan menjelang pemilu, apalagi sekadar agenda seremonial. DPRD harus hadir sebagai pendengar aktif, bukan sekadar pembicara. Menjadikan warung kopi sebagai ruang politik rakyat justru menandakan bahwa demokrasi sedang tumbuh dengan sehat.

Bergerak Bersama untuk Daerah

Setelah ngopi dan ngobrol, tugas utama berikutnya adalah bergerak. Aspirasi yang telah ditangkap dari pemuda harus dijadikan bahan dalam pembentukan kebijakan daerah. DPRD memiliki fungsi legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Ketiganya dapat dikontekstualisasikan dengan masukan konkret dari pemuda—mulai dari peraturan daerah yang lebih berpihak kepada anak muda, alokasi anggaran untuk program kewirausahaan pemuda, hingga pengawasan atas penggunaan dana publik dalam sektor pendidikan, teknologi, dan kepemudaan.

Pemuda bisa dilibatkan dalam perumusan Perda, diundang dalam rapat dengar pendapat, atau dilibatkan dalam forum monitoring anggaran publik. Demokrasi bukan sekadar keterwakilan, tapi juga partisipasi. Dengan demikian, “ngopi bareng” bukan hanya ritual basa-basi, tetapi menjadi jembatan menuju aksi bersama demi daerah yang lebih inklusif, transparan, dan progresif.

*Kopi Habis,Ide Mengalir Dalam kondisi*

Daerah-daerah yang menghadapi tantangan keterbatasan APBD, rendahnya partisipasi publik, hingga meningkatnya apatisme politik, model interaksi seperti ini adalah jawaban sederhana namun penuh makna. Kopi boleh habis, tetapi ide tetap mengalir. Obrolan boleh berakhir, tetapi semangat bergerak bersama harus terus hidup.

Sudah saatnya DPRD berhenti sekadar hadir di ruang-ruang resmi yang kaku dan eksklusif. Masuklah ke warung kopi, dengarkan suara pemuda, dan ajak mereka menjadi bagian dari proses perubahan. Dari ruang kecil yang sederhana, bisa lahir gagasan besar yang mengubah wajah daerah.

Sebagai akhir daro tulian ini penulis ingin mengatakan “Karena sesungguhnya, politik yang sehat bukan tentang siapa yang paling tinggi suaranya, tetapi siapa yang paling tulus mendengar dan paling serius bergerak serta anggota dewan yang diharapkan tidak saja menunjukkan eksistensial tapi haruslah yang bersubtansial. Oleh: Muhammad Fakhrur Rodzi, S.IP., M.IP (*Lingkar Pinggir Bima*)

Comments


EmoticonEmoticon