COBLOS SOSOK BAGAIMANA MEMBERIKAN HAK PILIH YANG AKAN MERAIH SUARA TERBANYAK PADA PEMILU 2024


Opini Public. Media Dinamika Global. Id. -Pemilihan Calon yang terhormat tahukah anda bahwa UU dan rakyatmu memiliki definisi yang berbeda soal pemilu dan pemimpin; Menurut rakyat pemilu adalah ajang perubahan nasib. Sementara menurut UU pemilu adalah  rutinitas formal untuk mengukuhkan/melegitimasi kekuasaan yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali.

Menurut rakyatmu juga bahwa pemimpin itu wajib cerdas (memiliki kompetensi yang mempuni untuk mengatasi berbagai masalah bangsa), tanggung jawab, ber ahlaq mulia, bijaksana dalam ucap dan tindakan serta lusinan krateria lainya yang hebat dan istimewa. Sementara menurut UU presiden/peminpin bangsa adalah seorang yg lulus SLTA, sehat jasmani dan tidak glia, juga diusung oleh setidak-tidaknya 20 presen dari partai politik yang Ada di DPR

Dan saya ingin bertanya Kira-Kira menurut bapak-bapak capres, pemilu itu apa ? Dan president/peminpin bangsa itu siapa ? 

Jika diberikan dua pilihan, apakah bapak-bapak capres Akan ikut aspirasi dan definisi UU atau aspirasi dan definisi rakyat ? 

Mohon maaf jika melihat indikasi dari fakta yang Ada para capres memiliki definisi yang berbeda dengan keduanya. Pemilu bagi mereka adalah ajang perubahan nasib diri dan peluang mencapai ambisi materi (harta, tahta dan wanita ). Sementara krateria Presiden menurut masing-masing para capres adalah sosok dirinya masing-masing.

Keinginan UU dasarnya konstitusi dan kepentingan kekuasaan sementara rakyat dasarnya kepentingan kemanusiaan dan fitrah dua Hal yang berbeda, adapun para capres dasarnya ambisi/egoisme personal dan ke pentungan kelompok (kroni)

Masyarakat kini tengah menyoroti soal eks napi korupsi atau koruptor yang ternyata masih bisa menjadi calon anggota legislatif (caleg) di DPR, DPRD, dan DPRD pada Pemilu 2024 mendatang. Hal itu dimungkinkan karena dari regulasi yang ada, termasuk UU Pemilu tidak melarang eks koruptor untuk kembali menjadi caleg.

Pasal 240 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengatur soal persyaratan yang mesti dipenuhi untuk menjadi bakal caleg baik di tingkat DPR, DPRD provinsi, hingga DPRD kabupaten/kota. Hanya saja, pasal tersebut tidak spesifik melarang eks napi, termasuk dari kasus korupsi, untuk kembali maju menjadi caleg.

Sementara itu, Pasal 45A ayat (2) PKPU Nomor 31 Tahun 2018 memberikan penjelasan lebih lanjut soal syarat bagi eks koruptor bila hendak maju sebagai caleg pada pemilu. Syarat tersebut yakni memberikan lampiran keterangan soal statusnya. Mantan koruptor tersebut turut diwajibkan melampirkan salinan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Tidak hanya itu, mereka diwajibkan melampirkan surat dari pemimpin redaksi media massa tingkat lokal atau nasional yang mengungkap calon dimaksud sudah terbuka dan jujur mengumumkan ke publik sebagai eks terpidana. 

Melukai Rasa Keadilan....!!!

Kebolehan eks napi korupsi maju menjadi calon anggota legislatif sungguh melukai rasa keadilan di masyarakat. Bagaimana mungkin rakyat bisa mendapatkan pemimpin dan para wakil yang jujur, bersih dan memiliki integritas jika syarat pencalonan terkesan longgar. Aturan ini tampak meremehkan kejahatan korupsi. Tentu hal ini sangat membahayakan karena memberikan jabatan pada eks koruptor sama saja membuka peluang berulangnya tindak korupsi. Sementara ringannya sanksi dan mudahnya remisi, tidak akan mampu menjadi pencegah pejabat lain untuk melakukan kejahatan serupa.

Demokrasi Ramah pada Koruptor....!!!

Korupsi seolah bukan hal yang tabu di negeri ini. Tahun lalu Pimpinak KPK menyampaikan ada 429 Kepala Daerah hasil Pilkada yang terjerat kasus korupsi. Ini baru kepala daerah, belum termasuk para pejabat di lembaga legislatif maupun  yudikatif dari pusat hingga daerah, tentu jumlahnya lebih banyak lagi. Salah satu penyebab mudahnya wakil rakyat melakukan suap menyuap dan korupsi adalah biaya pemilu yang mahal. Kebanyakan mereka mendapatkan biaya kampanye tidak murni dari kantong sendiri tapi disokong korporasi. Akhirnya ketika sudah jadi pejabat merasa wajar melakukan politik balas budi. Kebijakan tidak pro rakyat malah memuluskan kepentingan oligarki. Di sisi lain, untuk mengembalikan banyak biaya saat pemilihan tidak jarang mereka melakukan korupsi. 

Kontrol dari masyarakat pun terkesan lemah. Seolah memaklumi perbuatan para pejabat korup, ketika mereka mencalonkan diri, tak jarang rakyat sukarela memilih kembali. Seolah amnesia dengan kejahatan yang telah mereka lakukan. 

Aturan dari penyelenggara pemilu yaitu KPU juga tidak tegas. Memperbolehkan eks koruptor mencalonkan diri kembali dianggap sudah sesuai dengan Undang-undang. Diperparah hukuman yang tidak menjerakan dan mudahnya koruptor mendapat keringanan semakin menumbuhsuburkan korupsi.  Jika kita cermati maka tampak jelas bahwa sistem politik demokrasi yang diterapkan di negeri ini sangat ramah pada koruptor. Inilah pangkal persoalannya, sehingga harus dicari solusi sistemik yang akan menyelesaikan masalah secara tuntas tanpa menyebabkan persoalan baru. Selama sistem demokrasi masih terus diterapkan, cita-cita bebas korupsi hanya mimpi!

Sistem sanksi  Memberantas Korupsi Lemah dengan aturan yang sempurna. Sehingga negara yang menerapkan  sistem UU perampsan aset koruptor akan mampu mencegah dan memberantas kejahatan korupsi yaitu dengan beberapa cara:

Pertama, Menanamkan moral kepada para pemeluknya. Masuk calon 2024 tidak cukup hanya gagasan, tapi memiliki konsekuensi untuk meyakini dan melaksanakan semua aturan yang perintahkan serta meninggalkan semua perbuatan tercela yang uu larang contohnya korupsi. Negara wajib mengedukasi rakyat dengan menguatkan prestasi, menjauhkan dari kesyirikan serta mendorong mereka kejahatan.

Kedua, mengoptimalkan fungsi kontrol masyarakat. Masyarakat adalah masyarakat yang peduli terhadap persoalan yang terjadi di tengah mereka, saling menasehati dan melakukan amar makruf nahy munkar. Hal ini akan menjadikan kehidupan bermasyarakat senantiasa lurus dan tidak menyimpang dari aturan uu.

Ketiga, Biaya pemilu murah. Negara yang menerapkan sistem uu akan menyelenggarakan pemilu untuk memilih pemimpin dan juga memilih anggota majelis umat sebagai wakil dari rakyat. Pemilu akan diselenggarakan secara bersih, efektif dan efisien. Dengan memanfaatkan teknologi informasi yang canggih biaya pemilu bisa ditekan.  Para calon tidak perlu mengeluarkan biaya untuk kampanye karena difasilitasi oleh negara. Hal ini akan meminimalkan korupsi karena mereka tidak memikirkan biaya balik modal dan fokus pada amanahnya.

Keempat, sanksi yang tegas. Negara akan memberikan sanksi tegas kepada siapa saja yang melakukan kejahatan korupsi. Bentuk sanksi akan diserahkan kepada kebijakan uu. Sanksi yang tegas tersebut berfungsi sebagai penebus dosa dan menimbulkan efek jera bagi pelaku serta menjadi pencegah bagi orang lain.

Demikianlah masyarakat mampu mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, menyuburkan pemerintahan yang bersih serta melahirkan para pemimpin yang jujur dan tulus melayani rakyat. Tampuk kepemimpinan bukan dijadikan peluang untuk memperkaya diri tapi merupakan amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan masyarakat:

#Rakyat mencari pemimpin (ilmuwan, #bangsawan, hartawan dan negarawan)

#UU mencari (mandor kontrak yang total pro konstitusi dan penguasa internasional)

#mencari kedudukan (berlimpah materi dan gila hormat).

Oleh : Mochamad Yahdi, SH. MH

Load disqus comments

0 comments