Faridah : Joyful Learning dalam Pembelajaran AUD
Joyful Learning dalam Pembelajaran AUD
Oleh:
Faridah, Magister Pedagogi, Universitas Muhammadiyah Malang, Guru di TK N Penato’i Kota Bima
Namun, apakah anak-anak kita hari ini benar-benar menikmati proses belajarnya? Pertanyaan sederhana ini sering muncul di tengah rutinitas dunia pendidikan anak usia dini. Di banyak ruang kelas PAUD, kita masih melihat anak-anak duduk dan menirukan suara guru, serta mengerjakan lembar kerja. Padahal, masa usia dini adalah masa ketika tawa, rasa ingin tahu, dan eksplorasi menjadi bagian tak terpisahkan dari belajar. Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali semangat Joyful Learning sebagaimana pembelajaran yang memberi, warna, dan makna bagi dunia anak-anak.
Belajar bukan sekadar proses penggalian pengetahuan. Ia adalah perjalanan dan proses untuk mendapatkan pengalaman hidup yang lebih bermakna agar kemudian nantinya dapat menumbuhkan potensi mereka. Menurut Ambrina, menjelaskan bahwa anak usia dini (AUD) membutuhkan suasana belajar yang hangat, bebas berekspresi, dan penuh imajinasi (Ambrina 2024). Namun sayangnya, banyak guru masih terjebak pada paradigma lama bahwa anak harus belajar serius agar bisa pintar. Padahal, siapa bilang bermain dan tertawa tidak bisa menjadi jalan menuju kecerdasan? Justru dari keceriaan itulah muncul daya pikir, keberanian, dan kreativitas yang menjadi dasar tumbuh kembang anak.
Konsep Joyful Learning bukan hal baru, tetapi penerapannya sering kali setengah hati. Banyak lembaga PAUD mengklaim telah melaksanakan pembelajaran menyenangkan, namun praktiknya masih didominasi oleh rutinitas dan penilaian hasil. Anak dinilai dari seberapa cepat mengenal huruf, bukan dari bagaimana mereka bereksplorasi dan berekspresi. Lalu, di mana letak kebahagiaan belajar itu sendiri?
Joyful Learning sejatinya mengajarkan bahwa belajar adalah pengalaman hidup yang penuh makna. Anak belajar melalui bermain, berinteraksi, dan mencoba hal-hal baru tanpa rasa takut salah. Guru berperan sebagai pendamping yang menciptakan ruang aman untuk tumbuhnya rasa ingin tahu. Ketika anak diajak menanam bunga, membuat eksperimen air, atau bernyanyi bersama, sesungguhnya mereka sedang memupuk kemampuan berpikir, empati, dan percaya diri. Bukankah lebih indah jika ruang belajar anak dipenuhi tawa dan keingintahuan daripada tekanan dan perintah?
Perlu disadari bahwa betiap anak memiliki potensi yang berbeda-beda, ada yang cepat tanggap, ada yang peka terhadap seni, dan ada pula yang gemar berbicara atau bertanya tanpa henti. Sayangnya, sistem pembelajaran yang kaku sering kali menekan potensi ini. Joyful Learning memberi kesempatan agar anak menjadi dirinya sendiri. Ketika anak tertawa saat bereksperimen dengan cat warna atau menari dengan penuh semangat, sesungguhnya ia sedang membangun kepercayaan diri dan memahami dunia dengan caranya sendiri.
Apakah kita menyadari bahwa rasa bahagia dapat mempercepat perkembangan otak anak? Menurut Kurniawan, Ketika anak merasa aman dan senang, hormon dopamin dan endorfin bekerja aktif, memperkuat memori dan fokus belajar (Kurniawan 2025). Inilah alasan mengapa pembelajaran yang menyenangkan jauh lebih efektif daripada pembelajaran yang penuh dengan tuntutan. Guru yang memahami hal ini tidak lagi sibuk mengejar hasil, tetapi lebih fokus pada proses tumbuhnya semangat belajar anak.
Lalu, bagaimana mewujudkan pembelajaran yang benar-benar joyful? Dalam hal ini mengutip pendapat dari Diputera, bahwa Guru dapat memulainya dengan pendekatan yang berpihak pada anak. Pertama, melalui belajar sambil bermain, di mana anak memahami konsep secara alami tanpa tekanan. Menghitung biji kacang, menyusun balok, atau bernyanyi alfabet. Semuanya adalah kegiatan belajar yang sesungguhnya. Kedua, pembelajaran berbasis proyek dapat menjadi pilihan (Diputera 2024). Anak diajak membuat karya sederhana seperti taman mini atau karya seni dari bahan alam, sehingga mereka belajar merencanakan, bekerja sama, dan menyelesaikan masalah.
Selain itu, pendekatan tematik-integratif memungkinkan anak memahami berbagai hal dalam satu tema yang menarik. Misalnya, ketika membahas tema “Air”, anak dapat bereksperimen, menggambar, bernyanyi, dan berdiskusi sekaligus. Guru pun menjadi fasilitator yang menghidupkan rasa ingin tahu, bukan sekadar pengarah. Jika setiap kegiatan belajar mampu membuat anak berkata “Aku mau coba lagi!”, maka saat itulah Joyful Learning telah benar-benar hidup di kelas.
Sebagai penutup penulis menegaskan bahwa Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) seharusnya menjadi taman yang menumbuhkan, bukan ruang untuk ujian yang menekan. Joyful Learning mengingatkan kita bahwa kebahagiaan bukan pelengkap belajar tetapi adalah inti dari pembelajaran itu sendiri. Guru yang ceria akan menulari semangatnya kepada anak, dan anak yang bahagia akan belajar dengan sepenuh hati. Maka, mari kita bertanya lagi: apakah ruang belajar kita sudah menjadi tempat yang menggembirakan bagi anak-anak? Jika belum, mungkin sudah saatnya kita membuka pintu perubahan. Sebab dari tawa dan rasa ingin tahu itulah, masa depan anak-anak kita sedang tumbuh dan menemukan cahayanya.






