Bagaimana Pengaruh Militerisme Merecoki Pernikahan Riski dan Wanda?


Bima Dompu NTB: Media Dinamika Global-Id.Bagaimana Pengaruh Militerisme Merecoki Pernikahan Riski dan Wanda?

"Setiap negara biarpun kecil sekali dan tidak punya musuh dari luar, toh merasa bahwa bangsa tanpa tentara adalah 'cowok tanpa cawat'." (Benedict Anderson)

Baru saja telah kita saksikan bagaimana sepasang pengantin gagal menikah: sesosok mempelai perempuan mematung kecewa di atas pelaminan, sedangkan seekor lelaki tunangannya meninggalkannya entah kemana. Sungguh insiden ini kontan membuat siapa saja terperangah, sedih dan marah. Semua tamu undangan iba. Sementara banyak pula suara liris hingga air mata pilu bercucur jatuh. Acara yang seharusnya penuh suka-cita tapi tersisih oleh duka-cita.

Duka itu bukan bencana, tapi sengaja dan terencana. Adalah Riski dan Wanda namanya. Keduanya telah menjalin hubungan bertahun-tahun lamanya. Sejak duduk di bangkuk SMA keduanya membangun relasi sebagai kekasih. Kini setelah tamat diputuskanlah untuk menikah. Tetapi ketika standing party Wanda justru dikhianati sekenanya. Daripada menemani kekasihnya di pelaminan; Riski malah kabur mengejar cita-cita jadi tentara.

Memang dalam masa-masa pacaran, Riski kerap menjelaskan betapa dirinya menginginkan masuk kemiliteran. Wanda mendukung impian demikian. Tetapi jadi tentara tidak sembarang. Bukan saja kekuatan keuangan dan kebugaran fisik yang diperlukan, tapi juga disyaratkan berstatus lajang. Hanya hubungan Riski dengan Wanda menuntut ke jenjang pernikahan. Soalnya keduanya telah bercinta dan perempuan mengandung benih lelaki di rahimnya tanpa direncanakan.

Itulah mengapa Wanda dan keluarga menuntut pertanggungjawaban. Riski dan keluarganya pun menjawab tuntutan. Ibu lelaki ini mengarahkan anaknya untuk melangsungkan pernikanan. Tetapi bukan yang dicatatkan melainkan nikah sirih duluan. Tunduk pada arahan ibunya maka Riski menemui kekasihnya dan memberi jawaban demikian. Namun Wanda dan keluarganya melakukan penolakan. Ditolak rencananya maka Riski dan ibu membuat rencana susulan: mengiyakan acara pernikahan terbuka tapi lari di tengah jalan.

Dalam momen pernikahan rencana itu dilancarkan. Wanda pun ditinggalkan berdiri sendiri di pelaminan seperti yang telah diceritakan. Sekarang Riski kemudian bukan saja menjadi sasaran kekecewaan kekasinya, tapi juga obyek hinaan warga dan pemberitaan sensasional media. Impian menjadi prajurit telah mengubah rute cintanya: perempuan yang pacari, disetubuhi, dan mengandung anaknya tidak diangkatnya sebagai istri--melainkan dibiarkannya tampil sebagai korban yang dikhianati mulai dari hati, ranjang, sampai standing party.

Dalam fenomena inilah kita dipertontonkan ternyata militer tidak saja mempunyai kekuatan tempur mematikan. Tetapi juga memiliki daya hegemonik menjijikan. Sebab ambisi Riski masuk dinas kemiliteran--yang didukung oleh ibunya secata gandrung--bukan terbentuk dengan sendirinya, melainkan berasal dari gempuran citra tentara.

 Telah kita tahu bagaimana kekuasaan di negeri ini lama diduduki Jenderal Soeharto dan spesiesnya. Setelah bekerjasama dengan kekuatan imperialisme dan elemen-elemen reaksioner untuk menggulingkan Soekarno dari takhta kepresidenan, maka rezim yang mereka bangun kemudian diberi nama Orde Baru.

Orde Baru dalam sejarah Indonesia modern dikenal sebagai monumen neofasis. Di sini perebutan dan pertahanan kekuasaan tak sekadar meniscayakan kemampuan tempur, tapi juga kepemimpinan intelektual dan moral yang menempatkan tentara menjadi prototipe publik. Sejak Soeharto berkuasa maka citra tentara melangit. 

Prestisenya menjulang bukan karena keberhasilannya menjalankan kudeta merangkak dan menumpas massa-rakyat (kelas buruh, kaum tani, angkatan muda kiri, perempuan dan orang-orang miskin kota serta desa). Melainkan berkat penguasaan pelbagai media hegemonik: surat kabar, institusi pendidikan, lembaga keagamaan, saluran kebudayaan, dan sebagainya.

Penguasaan atas itu semua membuat kejahatan-kejahatan kemanusiaan tidak ditampilkan sebagai tindakan brutal dan barbar, tapi dipermak jadi perbuatan nasionalistik dan patriotik. Di bawah hegemoni Orde Baru gagasan ini.(Wawan S MDG)

Load disqus comments

0 comments