Ketua LSM GNRI : Pemkab Dompu Terkesan Ambigu Soal Tapal Batas Kempo-Pekat


Pekat. Media Dinamika Global. Id.-  Pemerintah kabupaten dompu tidak taat aturan. PP nomor 22 tahun 1995 itu final bahwa batas wilayah kecamatan pekat  mulai dari sorikananga sampai soritompo. Dengan bukti-bukti dan fakta yang ada kami harap Bupati Dompu beserta teman kempo menerima wilayah teritorial kami n tidak perlu lagi di kaji atau di rubah. (17/12).

Polemik Tentang tapal batas Kecamatan Kempo dengan Kecamatan Pekat, Kabupaten Dompu, NTB belum juga menemukan solusi penyelesaiannya. Pemkab Dompu justru menunjukkan sikap yang terkesan ambigu. Seperti dilansir oleh Lakeynews.com

Mengapa?

Disatu sisi, Pemkab mengaku patuh dan tunduk terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 1995 tentang Pembentukan 2 (Dua) Kecamatan di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Dompu dalam wilayah Propinsi Daerah Tingkat I NTB.

Kabupaten Daerah Tingkat II Dompu dalam wilayah Propinsi Daerah Tingkat I NTB.Namun disisi lain, Pemkab Dompu tidak mencabut Surat Keputusan (SK) Bupati Nomor: 130/227/Pem/2021 tentang Pembentukan Tim Perubahan Tapal Batas Kecamatan Kempo dan Kecamatan Pekat, tanggal 3 Juni 2021. Justru Tim yang dibentuk dengan SK Bupati tersebut dikatakan masih bekerja.

Sikap ambigu tersebut tampak dalam rapat yang menyikapi polemik tapal batas Kecamatan Kempo dengan Kecamatan Pekat, di ruang Rapat Wakil Bupati, Kamis (16/12) siang. Pertemuan itu dipimpin Wabup H. Syahrul Parsan, ST, MT didampingi Sekda Gatot Gunawan Perantauan Putra, SKM, M.MKes.

Ikut hadir dalam rapat tersebut, Asisten I (Pemerintahan dan Kesra) Setda H. Burhan, SH, Kepala Kantor BPN Dompu Komang Suartha, SE, MH, Kabag Hukum Setda Momon Suherman, SH, Camat Kempo Drs. Budi Rahman, perwakilan Camat Pekat Furqan Kamil dan perwakilan Polsek Pekat Bripka Mustawa.

Hadir juga Kepala Desa Soritatanga Mirafudin, beberapa tokoh masyarakat dan tokoh pemuda Kecamatan Pekat. Antara lain, Asmah, SE, Nasuhi, S.Sos, Herman, Suhardin, Fadlin, Supriadin, Fakarudin dan Ade Septian.

Pengamatan kontributor Lakeynews.com, rapat tersebut menghasilkan tiga poin. Salah satunya, Pemkab Dompu tetap patuh pada PP 22/1995. Kedua, meminta kepada masyarakat Kecamatan Pekat dan Kempo agar tetap sama-sama menjaga stabilitas wilayah, sehingga tidak terjadi konflik.

Ketiga, hasil kerja Tim Pengkaji akan dijadikan bahan pengkajian yang disampaikan kepada DPRD Dompu, bukan sebuah produk hukum.

Diketahui, PP 22/1995 ditetapkan di Jakarta, tanggal 3 Agustus 1995 dan ditandatangani Presiden RI (saat itu) Soeharto. PP tersebut diundangkan pada tanggal yang sama melalui Lembaran Negara RI Nomor 42. Dalam Lembaran Negara dimaksud tertuang amanat Pemerintah Pusat agar semua pihak menaati dan mematuhi PP 22/1995.

Dua kecamatan yang dibentuk melalui PP 22/1995 itu, Kecamatan Pekat dan Kecamatan Woja. Khusus Kecamatan Pekat meliputi lima desa. Yakni Desa Pekat, Nangamiro, Kadindi, Sorinomo dan Beringin Jaya. (Setelah pemekaran, bertambah tujuh desa; Soritatanga, Doropeti, Nangakara, Calabai, Karombo, Kadindi Barat dan Desa Tambora, red).

Rapat di ruang Wakil Bupati, sebagaimana disampaikan Sekda Gatot dalam pengantarnya, untuk membicarakan dan menyamakan persepsi terkait polemik tapal batas Pekat-Kempo. Sehingga, dapat diambil langkah terbaik dan tepat untuk menyelesaikannya.

Diawal rapat, Wabup mengaku, terkait tapal batas Kempo-Pekat, pihaknya akan menurunkan Tim Pengkajian untuk meneliti kembali masalah tersebut.

Pihaknya sudah bertemu masyarakat Pekat dan mengimbau agar masalah ini tidak dibesar-besarkan. Hal itu agar tidak menimbulkan perpecahan dan kerugian bagi masyarakat sendiri.

“Sekarang Pimpinan Daerah lagi fokus menyelesaikan perbatasan wilayah Kabupaten Dompu dengan Bima, karena banyak areal wilayah Kabupaten Dompu yang masuk ke wilayah Kabupaten Bima,” jelasnya.

Masalah tapal batas Bima-Dompu seharusnya sudah clear per tanggal 15 November lalu. Tapi, Pemda Dompu minta tambahan waktu. Menyusul adanya Tim Pengkaji atas dasar rekomendasi dari RDPU DPRD Dompu terkait polemik tapal batas Pekat-Kempo.

“Tim Pengkaji masih bekerja. Hasil kajian Tim akan menjadi acuan dan sebagai bahan, masukan dan saran kepada DPRD Dompu,” papar Wabup.

Kesalahan Masa Lalu
Wabup menegaskan, munculnya polemik tapal batas, baik Pekat-Kempo maupun Bima-Dompu, akibat kesalahan masa lalu. “Permendagri Nomor 37 Tahun 2016 menjadikan konflik tapal batas Bima-Dompu,” tegasnya.

Wilayah Dusun Karaku, Desa Manggena’e, Dompu, sekitar 70 persen masuk wilayah Kabupaten Bima. Daikuinya, hal itu terjadi atas dasar kesepakatan bersama. Namun, kemungkinan saat itu disepakati oleh pihak-pihak yang dinilai tidak mengerti betul soal batas wilayah.

“Permasalahan Pekat-Kempo prioritas diselesaikan setelah penyelesaian masalah tapal batas Bima-Dompu,” tandasnya.


Sementara itu, Asmah, perwakilan tokoh wanita Pekat yang juga Ketua LSM GNRI, mengatakan, pihaknya ikut menyoal SK Bupati Dompu Nomor: 130/227/Pem/2021 karena sudah sekitar 26 tahun tidak ada pemerintahan (sebelumnya) yang mempermasalahkan tapal batas Pekat-Kempo.

“Kok, pemerintahan sekarang berani mengeluarkan SK perubahan atas tapal batas tersebut,” tanya Asmah dengan nada sinis.

Masyarakat Pekat, lanjut Asmah, taat hukum. Dia minta tidak diintimidasi. “Kami memiliki landasan hukum yang jelas dari pemerintah pusat. Yaitu PP Nomor 22 Tahun 1995,” tegasnya.

Terkait isu hanya Desa Doropeti dan Soritatanga yang mempertahankan tapal batas tersebut, menurutnya, itu semua sengaja dihembuskan oknum-oknum tertentu untuk mengadu domba masyarakat Pekat.

“Warga semua desa (12 desa) di Kecamatan Pekat tidak menginginkan tapal batas diubah atau digeser. Jika tugu perbatasan Pekat-Kempo di Sori Tompo, Desa Soritatanga (sesuai PP 22/1995) itu tidak segera dibangun, maka kami akan mengahadap Presiden,” tegas Asmah. (tim/bersambung)
Load disqus comments

0 comments